Minggu, 11 Mei 2014

Kami Event Organizer di Pekanbaru Berikan Jasa Fotografi dan Video Shooting

Kami jasa event organizer di Pekanbaru, berikan jasa fotografi & video shooting, baik seminar, festival, pernikahan, ulang tahun, serta acara berkesan lainnya. Soal harga, kami berikan harga murah namun tetap memberikan kualitas terbaik.





Info selengkapnya dapat menghubungi kami di: http://maentertain.blogspot.com/
Selengkapnya...

Jumat, 20 Desember 2013

Parlindungan Ciptakan Antologi Puisi Dwi Bahasa 'Destinasi Terakhir Bapak'

Puisi-puisi karya Parlindungan tak ubahnya sebagai sarana pencerahan perkembangan sastra di Riau maupun di Indonesia. Sebagai anak muda yang gemar menulis mesti diapresiasikan dengan baik. Ragam puisi yang ditulis Parlindungan dirangkum dalam “sebuah rumah”, yakni ‘Antologi Puisi Destinasi Terakhir Bapak’. Di dalamnya ada jiwa sosial, religi, tentang diri penulis, hingga hubungan dirinya dengan Tuhan sekali pun.

Dua bahasa (Indonesia-Inggis) yang terkandung dalam antologi puisi ini sebagai bentuk inisiatif kreatif mengedepankan ide kolaboratif yang tak banyak penyair lakukan. Setidaknya antologi ini buah karya milik dunia dengan memanfaatkan bahasa dunia agar dunia bisa ikut membacanya.

Bagi penggila puisi, Anda dapat membelinya di toko buku atau langsung memesan kepada penulis, Parlindungan (085375241980).(*)
Selengkapnya...

Senin, 07 Oktober 2013

Parlindungan Raih Tiga Nominasi Anugerah Sagang 2013

Anugerah Sagang 2013 menetapkan Parlindungan sebagai nominasi beberapa kategori yang disediakan Panitia Anugerah Sagang 2013. Antologi Puisi Dua Bahasa (Inggris-Indonesia) berjudul ‘Destinasi Terakhir Bapak’ menjadi nominasi Kategori Karya Buku Pilihan Sagang. Kemudian, Parlindungan juga nominasi Kategori Karya Jurnalistik Pilihan Sagang dengan judul ‘Gendang Nafiri, Generasi Tak Terputus yang Diselamatkan Tuk Bidin’. Tidak itu saja, sanggar yang dibina Parlindungan juga menjadi nominasi Kategori Institusi/Lembaga Budaya Pilihan Sagang, yakni Sanggar Seni Lisendra Dua Terbilang Universitas Islam Riau (LDT UIR). Sanggar LDT UIR ini merupakan sanggar seni yang didirikan Parlindungan sejak 2001 lalu di UIR dan sudah empat kali nominasi di Anugerah Sagang tiap tahunnya.

Setelah melewati beberapa tahapan, akhirnya Yayasan Sagang melalui penilaian dewan juri menetapkan dan mengumumkan para Nominator Penerima Anugerah Sagang 2013. Penilaian akhir penetapan para nominator ini, dilakukan dalam rapat dewan juri Sabtu (5/10/2013), di Gedung Riau Pos, Pekanbaru.

Ketua Dewan Juri yang juga Ketua Dewan Penasehat Yayasan Sagang Rida K Liamsi menyatakan, dalam penilaian kemarin, terjadi perdebatan panjang dan alot di kalangan dewan juri. Akhir penetapan para nominator ini, dilakukan dalam rapat dewan juri Sabtu (5/10/2013), di Gedung Riau Pos, Pekanbaru.

Ketua Dewan Juri yang juga Ketua Dewan Penasehat Yayasan Sagang Rida K Liamsi menyatakan, dalam penilaian kemarin, terjadi perdebatan panjang dan alot di kalangan dewan juri. Terjadinya perdebatan ini, terutama untuk beberapa kategori, antaranya pada kategori Seniman/Budayawan Pilihan Sagang, Kategori Buku Pilihan Sagang, Kategori Karya Non-buku, dan Karya Penelitian Pilihan Sagang.

“’Untuk beberapa kategori, terjadi perdebatan sengit. Untuk Seniman dan Budayawan Pilihan Sagang misalnya, dari sekitar 40 nama yang muncul, memakan waktu cukup lama untuk mengerucutkan menjadi sepuluh nama,” jelas Chairman Riau Pos Group ini.

Selain itu, tambahnya, pada Karya Buku Pilihan Sagang perdebatannya juga seru. Karena susah menemukan kata sepakat, akhirnya yang biasanya karya buku hanya ada lima nominator, untuk tahun ini ditetapkan tujuh nominator.

Katanya lagi, perdebatan yang paling sengit terjadi pada penetapan Kategori Karya Penelitian. Pada kategori ini, terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Untuk kategori ini, perdebatan bukan pada karya mana yang patut dijadikan nominator, tapi antara perlu atau tidak adanya nominator. Sebagian juri berpendapat, harus ada nominator. Sebagian lagi menyatakan, untuk apa dipaksakan, bila memang tak memenuhi kriteria yang diinginkan dewan juri.

“Dari kesemua kategori karya pilihan Sagang ini, untuk Kategori Penelitian Budaya dengan pertimbangan tak ada yang memenuhi kreteria, tahun ini tidak ada nominatornya. Berarti, untuk 2013 ini, untuk kategori Karya Penelitian Pilihan Sagang tidak ada penerimanya,” tegas Rida.

Dengan telah diumumkannya para nominator ini, Rida, mengajak berbagai pihak, terutama kalangan seniman dan budayawan untuk ikut memberi masukan dan saran. ‘’Sumbang saran dari berbagai kalangan diperlukan,” ujarnya.(fed)
Selengkapnya...

Minggu, 09 Desember 2012

Parlindungan Raih Anugerah Jurnalistik dan Penulis Muda Pertanian 2012 dari Menteri Pertanian RI


Parlindungan kembali meraih anugerah, yakni Anugerah Jurnalistik dan Penulis Muda Pertanian 2012 oleh Menteri Pertanian RI, Dr. Ir. H. Suswono, MMA. Anugerah ini diraih pasca Parlindungan raih Juara II (dua) dalam Lomba Penulisan Artikel Pertanian 2012.

“Saya mengambil judul artikel “Perhatian Pers Terhadap Pertanian Indonesia, Solusi Alternatif Atasi Kemiskinan Petani Gurem” yang dimuat di Majalah Venues Edisi XIV Tahun 2012.

Sementara Juara I di raih oleh Lilik Darmawan (Media Indonesia) dengan judul tulisan “Bali Ndeso Mbangun Ndeso”. Sedangkan juara III diraih oleh Muhammad Hilmi Faiq (Kompas) dengan judul “Sayuran Sejahterakan Masyarakat Karo”.

Pengumuman pemenang lomba dilaksanakan, Senin (26/11/2012) dalam acara temu pers di SME Tower, Lt.10 Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Sementara penyerahan hadiah akan dilaksanakan pada Selasa (27/11/2012) di Auditorium TVRI dan disiarkan langsung di TVRI pada pukul 15.00 WIB, dan anugerah diberikan langsung oleh Menteri Pertanian RI melalui Dirjen Perkebunan, Gamal Nasir.

Dalam sambutannya, Ketua Dewan Juri, Syamsudin Nur Moenadi memaparkan, ada beberapa alasan juri memilih tulisan tersebut menjadi pemenang. “Pemilihan dilakukan secara objektif oleh 5 dewan juri yang terdiri dari kalangan pers, akademisi, pengamat pertanian,” katanya.

Sementara penulisan didasarkan pada kriteria tulisan, sistemtika penulisan, sesuai tema dan relevansi, nilai keunikan, dan mampu menghubungkan data dengan argumen. “Kita berharap pers tidak hanya konsen pada publih oriented, tapi juga pada kepentingan dakwah, salah satunya masalah pertanian,” ujarnya.

Sementara itu, Parlindungan yang dihubungi via telepon mengungkapkan, kalau ia merasa sangat senang dengan penghargaan ini. Apalagi sebagai media lokal mampu sejajar dengan media-media nasional. “Ini kebanggaan yang luar biasa bagi saya menjadi salah satu juara dalam kegiatan ini,” tambahnya.

Ia berharap hal ini akan semakin menambah motivasinya dalam berkarya dalam bidang jurnaslitik dan memotivasi rekan-rekan lainnya untuk berbuat lebih baik lagi. (*)

Berita ini dimuat: http://riaubisnis.com/index.php/cosmo-news/cosmo-news/51-cosmo/5830-chief-editor-riaubisniscom-raih-juara-ii-lomba-anugerah-jurnalistik-pertanian-2012
Selengkapnya...

Parlindungan: Anugerah Sagang Motivasi untuk Berkarya


Jumat malam (23/11/2012) jadi momen yang tak terlupakan bagi Pemimpin Redaksi Riaubisnis.com, Parlindungan. Pasalnya, malam itu ia resmi menerima Anugerah Sagang 2012 atas karya penelitiannya. Karya Penelitian Pilihan Sagang 2012 diberikan kepada Parlindungan SH MH dengan karya ‘’Tinjauan Terhadap Sejarah Datuk Laksamana Raja di Laut, Gelar Keramat hingga Media Pemersatu Siak-Bengkalis’’ meraih predikat sebagai juara Kategori Penelitian Budaya Melayu.

Anugerah Sagang diberikan Wali Kota Pekanbaru, Firdaus MT, di acara Malam Anugerah Sagang 2012 di Hotel Pangeran Pekanbaru. "Pagi-pagi sekali saya dapat SMS dari Pak Husnu Abadi, kalau saya dapat Anugerah Sagang. Langsung saja saya mandi dan cari koran Riau Pos. Saya takut Pak Husnu Abadi mengigau karena waktu itu pagi-pagi sekali. Ternyata benar, kalau saya meraih Anugerah Sagang di tahun ini," kata Parlindungan bercerita.

“Anugerah ini saya persembahkan kepada kedua orang tua saya yang sudah melahirkan saya dan mendidik saya hingga saya seperti ini. Saya bangga kepada mereka berdua. Dan anugerah ini jadi makin memotivasi saya untuk terus berkarya,” tambahnya.

Hadir dalam acara tersebut Rida K Liamsi, Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Wali Kota Pekanbaru, Firdaus MT beserta tokoh masyarakat Riau. Rida K Liamsi mengatakan, Anugerah Sagang merupakan apresiasi atas kerja keras para seniman yang berperan dalam pengembangan budaya Melayu.

”Teruslah berkarya untuk perkembangan budaya Melayu. Anugerah Sagang juga berperan sebagai wujud rasa terima kasih kepada seniman yang tunak dan konsisten dalam semua karyanya. “Perhelatan ini tentu saja mempunyai makna tersendiri bagi perkembangan budaya Melayu ke depannya,“ katanya lagi.(*)

Dimuat di: http://riaubisnis.com/index.php/cosmo-news/cosmo-news/51-cosmo/5823-parlindungan-anugerah-sagang-motivasi-untuk-berkarya
Selengkapnya...

Rabu, 07 November 2012

Parlindungan Raih Anugerah Sagang 2012


Tim penilai Anugerah Sagang akhirnya mengumumkan hasil pemenang Sagang 2012. Parlindungan, SH MH meraih predikat sebagai juara Kategori Penelitian Budaya Melayu. Parlindungan, SH MH merupakan pekerja seni yang konsisten berkarya memajukan dunia kesenian dan budaya Melayu di Riau. Karya Penelitian Pilihan Sagang 2012 diberikan kepada Parlindungan SH MH dengan karya ‘’Tinjauan Terhadap Sejarah Datuk Laksamana Raja di Laut, Gelar Keramat hingga Media Pemersatu Siak-Bengkalis’’.

Kesehariannya Parlindungan, SH MH adalah jurnalis/pers dengan posisi sebagai Chief Editor di Riaubisnis.com dan Majalah Venues. Selain itu ia sebagai Pembina Sanggar Lisendra Dua Terbilang Universitas Islam Riau.

Keputusan tersebut diambil tim penilai setelah melewati tahapan penilaian dan pembahasan yang alot. Para pemenang merupakan seniman dengan karya terbaik dari sejumlah nominator sesuai kategori yang telah ditetapkan.

Ketua Tim Penilai Anugerah Sagang 2012, Rida K Liamsi mengatakan hasil penilaian diperoleh dari perdebatan yang panjang dan alot. Ini dikarenakan, karya sastra yang masuk nominator mememiliki nilai artistik yang tinggi.

‘’Untuk penilaian karya sastra ini memang memerlukan waktu yang cukup panjang. Karena harus terukur dan subjektif,’’ tutur Rida seperti dikutip dari Riau Pos Rabu (7/11/2012).

Rida mengatakan Anugerah Sagang merupakan apresiasi atas kerja keras para seniman yang berperan dalam pengembangan budaya Melayu. ”Teruslah berkarya untuk perkembangan budaya Melayu. Anugerah Sagang juga berperan sebagai wujud rasa terima kasih kepada seniman yang tunak dan konsisten dalam semua karyanya,’’ ulas Rida.

Sementara itu, Ketua Yayasan Sagang, Kazzaini KS mengatakan, penganugerahannya diberikan pada malam puncak Anugerah Sagang pada 23 November di salah satu hotel berbintang di Pekanbaru.

Dia mengharapkan, Anugerah Sagang juga memiliki nilai positif dalam memberikan motivasi kepada seniman. Sehingga dapat terus menghasilkan karya sastra terbaik dalam mendukung pengembangan budaya Melayu di Bumi Lancang Kuning.

Dari hasil tim penilai Anugerah Sagang ditetapkan GP Ade Dharmawi sebagai penerima kategori Seniman/Budayawan Pilihan Sagang 2012. Sedangkan penerima kategori Buku Pilihan Sagang dianugerahkan untuk karya sastra Grafiti Bukit Puisi Kumpulan Sajak M Badri.

Sedangkan untuk penerima kategori Non-Buku Karya Alternatif Pilihan Sagang 2012 dianugerahkan pada karya sastra dalam pementasan teater “Peri Bunian” produksi Komunitas Seni Rumah Sunting.

Untuk penerima Anugerah Sagang dalam kategori Institusi/Lembaga Seni Budaya Pilihan Sagang 2012 adalah Pusdatin Puanri, Pekanbaru. Sedangkan penerima anugerah Seniman Serantau Pilihan Sagang diberikan kepada Hasan Asphani (Sastrawan), Kepulauan Riau.

Sementara untuk penerima anugerah Jurnalistik Budaya Pilihan Sagang 2012 adalah karya sastra wartawan Riau Pos, M Fadhly dengan judul ‘’Melihat Tradisi Atib Ambai di Kecamatan Kubu; Menolak Bala ke Ujung Pulau’’. (*)
Selengkapnya...

Senin, 01 Oktober 2012

Mengenal Lebih Jauh Sosok Parlindungan


Parlindungan, kelahiran Pekanbaru, 31 Agustus 1980. Anak Bapak H. Ahmadi (alm) & Ibu Hj. Yusniani Lubis. Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) tahun 2005 dan alumni Pascasarjana (S.2) UIR Hukum Bisnis, 2008-2009. Sejak 2013 hingga kini menimba ilmu di Program S.3 (doktor) Universtas Islam Bandung (Unisba). Anak Pertama dari tiga bersaudara. Saat ini sebagai Pembina Sanggar Seni Lisendra Dua Terbilang UIR. Hingga akhir 2012, sudah 38 kali menyutradarai film, baik pendek, film panjang, dokumenter, dan biography, dan film profil. Sudah beberapa kali juga menyutradarai produksi teater visualisasi puisi dan musikalisasi puisi.

Peraih Juara Pertama Festival Film Pendek yang diselenggarakan Dewan Kesenian Riau tahun 2005, 2006, dan 2009. Pada tahun 2008 meraih juara ketiga pada event yang serupa. Dalam produksi film, Parlindungan sebagai sutradara, ide cerita, penulis skenario, kameramen, casting, penata lakon, dan editing.

Selain itu, beberapa kali memenangkan lomba karya tulis ilmiah, cerpen, naskah drama, kritik sastra, puisi, dan photography. Masing-masing adalah, juara pertama lomba karya tulis Media Indonesia–Metro Tv se-Riau tahun 2004, juara harapan lomba fotography yang diselenggarakan oleh Wartawan Pemko Pekanbaru dalam rangka HUT Pekanbaru ke-221 tahun 2005.

Pada tahun 1992, saat Parlindungan duduk di bangku SD, pernah meraih juara ketiga lomba baca puisi se-Pekanbaru. Lalu Juara Pertama Lomba Penulisan Kritik Sastra Dinas Budsenipar Provinsi Riau se-Riau tahun 2006. Juara Pertama Lomba Karya Tulis Tingkat Wartawan dalam rangka Hari Kesehatan Nasional ke-42 yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Riau se-Riau tahun 2006.

Lalu, Juara Ketiga Lomba Penulisan Artikel Tingkat Wartawan se-Riau dalam rangka HUT Provinsi Riau yang ke-50 tahun 2007, yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Pemprov Riau. Kemudian Juara Kedua Lomba Penulisan Cerita Pendek yang diselenggarakan oleh Toko Buku Gramedia Pekanbaru dan Penerbit Gagasan Jakarta pada tahun 2008.

Tidak itu saja, Juara Ketiga Lomba Penulisan Naskah Drama pada Laman Cipta Sastra DKR Tingkat Nasional tahun 2008, dan sejumlah prestasi membanggakan lainnya. Dulu juga sempat pernah meraih Anugerah Aktivis Kampus Kategori Karya Ilmiah & Perfilman tahun 2005 pada saat Wisuda Sarjana UIR ke-37. Selain itu juga pernah menerima Anugerah Seniman Kampus se-Riau yang diselenggarakan oleh LDT UIR tahun 2004.

Tahun 2012 meraih Anugerah Sagang Kategori Penelitian Budaya dengan judul 'Sejarah Datuk Laksamana Raja di Laut, Gelar Keramat hingga Media Pemersatu Siak-Bengkalis'. Di tahun yang sama meraih Anugerah Jurnalistik dan Penulis Muda Pertanian 2012 oleh Menteri Pertanian RI, Suswono Kategori Penulisan Artikel Pretanian (Jurnalistik).

Pengalaman pekerjaan, pada tahun 2000-2001 sebagai wartawan pada Surat Kabar Mingguan Pondasi. Tahun 2001-2008 sebagai Reporter di Radio Bharabas 97,5 FM Pekanbaru. Karena saya juara pertama lomba karya tulis yang diselenggarakan Media Indonesia - Metro Tv, saya dipercayakan sebagai wartawan pada Surat Kabar Harian Nasional Media Indonesia Biro Pekanbaru tahun 2004-2005. Kepala Biro Surat Kabar Mingguan Nasional Pemburu pada tahun 2003-2004. Selain itu, Kordinator Liputan (Korlip) Surat Kabar Dwi Mingguan Riau Editor tahun 2005–2006.

Sempat menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Dwi Mingguan Riau Editor tahun 2006. Dan dimulai tanggal 25 Juni 2008 sampai sekarang bekerja di situs berita www.RiauBisnis.com sebagai Chief Editor/Pimpinan Redaksi sekaligus sebagai Kepala Divisi Multi Media. Media ini sebagai anak perusahaan Riau Investment Corp (RIC). Sebelumnya sebagai Managing Editor/Redaktur Pelaksana situs berita www.RiauBisnis.com (2009-2010). Kemudian menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi di Pekanbaru. Sejak Maret 2014, saya dipromosikan menjadi Relationship Manager RIC.

Buku kumpulan sajaknya telah diterbitkan pada tahun 2004 lalu yang berjudul 'Takkan' terbitan Yayasan Pusaka Riau. Buku skenario film karya Parlindungan judul 'Zinun' diterbitkan tahun 2004 tanpa penerbit. Buku kumpulan sajak antologi bersama 'Belantara Kata' terbitan UIR Press tahun 2005. Kumpulan sajak antologi bersama 10 penyair pemula LDT UIR, terbitan Unri Press tahun 2008 berjudul 'Berkata Kita'. Kemudian ada kumpulan cerita pendek berjudul 'Bercerita Kita' tahun 2009.

Beberapa karya sastra Parlindungan berupa cerpen, puisi, kritik sastra, cerita rakyat Melayu, skenario film, dan esei sastra, pernah diterbitkan di sejumlah media cetak harian, media cetak mingguan, media online, dan majalah terkemuka di Riau. Film penulis yang berjudul '87', 'Sampai Mati', 'Atas Pilihan', 'Zainun', 'Pilih Kasih', 'Syair Daun Teh', 'Menanti Jawaban', 'Hutan Buluhchina', dan 'Hitam itu Aku', pernah ditayangkan/disiarkan di Riau Televisi Pekanbaru & Dumai, dan TV Melayu, pada tahun 2006, 2007, 2008, dan 2010.

Saya hobby menulis sejak duduk di bangku SLTP, tahun 1993. Majalah dinding yang di sekolah, sajak saya tak pernah absen. Bahkan, sajak saya adalah sajak terbanyak yang terkumpul oleh sekolah dalam setahun. Saya hobby menulis berangkat dari keirian saya terhadap teman-teman saya di SLTP yang lebih dahulu bisa menulis sajak. Karena kemauan yang tinggi, justru, karya saya bisa lebih banyak diciptakan ketimbang sahabat-sahabat saya.

Dalam menulis, Parlindungan lebih kepada aliran kontemporer, tanpa berpangku kepada karya-karya sastra yang sudah ada sejak lama. Kebebasan menulis dan berkarya ada dalam pola pikir saya. Hobby menulis hingga saat ini masih saya lakukan.

Tidak saja sajak/puisi, cerpen, naskah drama, cerita rakyat, esei sastra, namun menulis opini tentang sosial, politik, budaya, ekonomi, karya ilmiah, dan karya tulis popular lainnya juga saya lakukan hingga saat ini. Terbukti, opini yang saya buat telah dimuat oleh sejumlah media cetak dan media online di Riau.

Saat ini saya memiliki seorang istri bernama Alna Karymunika, S.IP., M.Si. Ia kelahiran Tanjung Balai Karimun, 11 Januari 1987. Menikah 26 Juni 2009. Yang terindah dalam hidup ini, 07 Maret 2010 silam, saya dikaruniai seorang anak perempuan paling cantik di dunia, bernama 'Dahayu Nareswari Parlin. Dahayu sebagai "peluru tajam" saya untuk lebih semangat dalam hidup ini.***

Blog saya:
http://www.parlinriau.blogspot.com/
http://maentertain.blogspot.com/
http://ldtuir.blogspot.com/

e-mail saya : paral80@yahoo.com
parlindunganriau@gmail.com
Selengkapnya...

Selasa, 11 September 2012

Kata-kata Mutiara Karya Parlindungan


Siapa Saja

Siapa saja yang hidup saat ini harus sadar "siapa sebenarnya kita dan Allah SWT. Siapa yang paling perkasa, “Kita atau Allah? Kalaulah kita yang paling perkasa jadikanlah ciptaan Tuhan sebagai pengganti Tuhan!"

Kesempatan

Bagun pagi tadi apakah kita telah bersyukur kalau kita masih sehat dan tak kurang satu apapun? Begitu juga dengan keluarga serta orang-orang yang kita kasihi. Mari kita jadikan bangun pagi sebagai kehidupan baru yang lama tapi harus terlebihdahulu mensyukurinya kalau kita masih hidup. Sayangkah Allah SWT sama kita? Atau justru menguji kita untuk selalu di tiap pagi mengingat Dia "Kalau Dia masih memberikan kesempatan kepada kita yang maish hidup".

Pekanbaru, 1 April 2009 (08.55 WIB)

Ingin Hidup

Orang akan teringat syukurnya terhadap Allah SWT pada saat ia tengah berulang tahun, dapat rezeki nomplok, dapat warisan, kenaikan pangkat, dan sebagainya. Tapi apakah ada orang yang bersyukur pada saat ia sedang bersedih karena ia masih diberi umur panjang? Banyak orang yang mati dan ingin hidup kembali untuk berbhakti. salam...

Pekanbaru, 2 April 2009 (10.04 WIB)

Bersyukur

Ada seorang wanita yang putus asa terhadap kondisi hidupnya. Satu saja tumbuh jerawat di mukanya, ia harus memvonis "Kalau Tuhan tidak adil!". Lalu bagaimana dengan orang-orang yang matanya buta, kaki dan tangannya tak ada, namun ia tetap saja bersyukur "Karena ia masih hidup dan diberikan alat pernafasan yang sempurna oleh Allah SWT.."

Pekanbaru, 3 April 2009 (11.11 WIB)

Tersenyumlah

Bergembira terkadang sulit dilakukan walaupun sudah diiringi dengan tawa yang terpaksa – ketika masih saja dalam hidupnya "fisikku tak sempurna!" Haruskah kita menyesali kalau bergembira dan tawa adalah salah satu sisi kehidupan yang tak penting dalam hidup ini? Atau justru berharap banyak kalau dalam hidup ini "susah dan gundah adalah teman setia kita?" Tersenyumlah untuk bersyukur!
Pekanbaru, 6 April 2009 (09.54 WIB)

Terbangun

Suatu malam aku terbangun dan terdiam sentak. Tak lama setelah itu aku terpikir, "Kalau aku sedang duduk di ruang gelap!" Walaupun aku sadar itu adalah ruang kamarku, tapi aku berandai, "Kalau aku di liang kuburku suatu saat nanti. Gelap, sendiri, bingung, penuh penantian, terpikir dosa, menangis, tak berudara, dan tak ada apa-apa. Hanya ada menunggu hari yang tak pernah satu orang pun pernah menjumpainya. Ya.., hari kiamat!!"

Pekanbaru, 7 April 2009 (09.06 WIB)

Sedekahlah

Tersenyum adalah tingkah yang paling sejuk - walaupun ia berada di tengah teriknya matahari. Dari senyum itu orang menilai kesejukan itu ada pada diri kita. Jadikanlah senyuman itu sebagai bahan pencarian orang apabila kita tak lagi senyum. Dan jadikanlah tangisan orang apabila kita tak lagi dapat senyum - karena kita untuk pergi sejenak atau selamanya tak kembali. Dialah sedekah yang paling berarti. Marilah bersedekah yang paling ringan. Tapi terkadang ia sulit dilakukan.
Pekanbaru, 8 April 2009 (09.31 WIB)

Suci, Kita yang Tahu

Mampukah seseorang untuk berbicara sesungguhnya dengan hati? Pasti ia mampu berbicara setiap harinya – karena hati tidak pernah berbohong. Hanya sifatlah yang mampu mengalahkan hati yang suci – karena suci ada di setiap kita yang tahu.

Pekanbaru, 14 April 2009 (11.30 WIB)

Air Mata

Bagaimana kalau dalam hidup ini tak ada air? Manusia justru mencari temuan lain yang dapat memanfaatkan pengganti air sebagai alat pendukung dalam berbagai kegiatan kehidupan. Dan bagaimana kalau dalam hidup ini tak ada mata sebagai alat penglihatan? Maka manusia selalu meraba dalam setiap kegiatan dan mencampakkan jauh-jauh kaca mata. Lalu bagaimana kalau dalam hidup ini tak ada air mata??

Pekanbaru, 15 April 2009 (10.14 WIB)

Dia pun Entah

Tiada yang kekal kecuali yang paling abadi. Tiada yang hidup kecuali yang paling bisa mematikan. Tiada yang bisa melihat kecuali dia yang tak pernah tidur. Tiada yang paling maha kecuali dia yang selalu dicari dan dia pun entah.
Pekanbaru, 16 April 2009 (10.09 WIB)

Dia Ada

Banyak kita yang hanya sekadar tahu kalau dia itu ada. Tapi selalu saja sembunyi di tempat yang paling mulia. Namun hingga saat ini ketidakadaan justru menjadi alasan kita untuk melupakannya. Bukti dia ada ketika kita dan keluarga maupun orang yang kita sayangi masih bisa menatap kita dengan utuh.
Pekanbaru, 16 April 2009 (10.21 WIB)


Kata Itu Pahit

Kata yang paling berharga setiap kedipan mata kita adalah, tutup. Setiap kedipan itu kita rasakan sekarang, kalau kedipan itu indah. Makanya ia berharga. Kemudian yang paling indah adalah tutup. Karena dengan tutup semua tak bisa ambil pilihan – karena tutup adalah semua akhir cerita yang pernah ada dan waktu yang belum tentu kita temukan kelak. Buat anda yang selalu diawali dengan indah dan diakhiri dengan pahit.

Pekanbaru, 16 April 2009 (14.33 WIB)

Kayu di Danau Tua

Tak ada yang paling tangguh selain Ibu. Ia bagaikan kayu yang terbentang di tengah danau tua sebagai alat penyebrangan orang. Padahal dulu Ia takkan pernah rela seekor nyamuk pun hinggap ke tubuh kita. Dia kini tetap saja berada di tengah danau tua itu tanpa harus mencari tahu apa harapan ia terhadap orang-orang yang menginjakkan kakinya ke kayu itu. Ia memang ada di mana-mana, tapi belum tentu ia ada di hati kita. Cium tangan-Nya setiap kita berulang tahun, karena tanggal itu adalah nyawa bagi-Nya dulu.

Pekanbaru, 17 April 2009 (10.42 WIB)

Kuanggap

Tak ada yang kuanggap aku bahagia kalau satu hari saja aku tak mengingat Ibu. Tak ada yang paling aku anggap sedih ketika Ibu melahirkanku. Tak akan pernah Aku rela ketika Ibu masih saja sedih karena satu hari saja aku tak mengingatnya. Apalagi Ia ada di hadapan Allah SWT.

Pekanbaru, 17 April 2009 (11.21 WIB)


Kita yang Aneh

Ada saja kita ini! Sudah bisa menatap diri kita saja masih dianggap kurang lengkap. Ada saja yang ingin diminta dan harus tercapai dalam waktu singkat. Bahkan tanpa harus menyadari kalau masih ada seiman dengan kita yang tak bisa menatap dirinya. Bersyukur adalah sikap yang pas untuk menatap semuanya, tak saja diri kita degub jantung kita pun bisa terasakan.

Pekanbaru, 19 April 2009 (17.20 WIB)


Segala-gala

Tiada wajah seindah ibu, tiada tangisan semerdu ibu, tiada kata berseri selain raut wajah ibu, tiada ketulusan selain keikhlasan ibu, tiada kasih selain do'a ibu, tiada harapan selain tatapan tajam mata ibu. Segalanya ada pada ibu, dan ibu adalah ada pada segalanya. Segalanya itu pun ada di telapak kakinya. Subhanallah.

Pekanbaru, 21 April 2009 (10.31 WIB)


Sempatkah Kita Tertawa?

Masih sempatkah kita tertawa ketika masih saja ada di antara kita menyudahi menatap anak-anak kecil berlari tanpa menggunakan kaki? Ibu yang menetekkan anaknya dengan debu dan tahi? Seorang bapak yang pergi pagi pulang malam yang uang ia dapati habis disikat birokrasi? Masih ingatkah kita tentang segala kekurangan dan kepura-puraan ini? Hanya gara-gara persoalan hati kita harus tertawa bersama penderitaan orang lain dan tak pernah menerima takdir akibat ketidakpastian ini.

Pekanbaru, 21 April 2009 (11.07 WIB)


Jangan Anggap

Meneguk secangkir kopi hitam setiap pagi, aku anggap sebagai penyemangat aku bekerja. Sambil memejamkan mataku pada saat mencicipi kopi panas itu, pada saat membuka mataku kembali, aku sadar, kalau tak selamanya lambang hitam itu tak menyenangkan. Warna adalah warna! Jangan anggap warna sebagai lambang yang mengakibatkan kita syirik.

Pekanbaru, 22 April 2009 (09.54 WIB)


Nafsu Dua Sisi

Ada seorang anak, dia sedih karena tak mampu membeli sebungkus nasi. Sementara seharian dia belum dapat rezeki dari jasa semir sepatunya. Namun aku melihat ia tak larut atas kesedihannya. Dia terus berusaha bekerja untuk mendapatkan uang agar nasi ramas yang dia inginkan bisa tercapai. Itu adalah cita-cita singkat. Tapi banyak anak dewasa yang terus memaksa orantuanya untuk mendapatkan sebuah mobil. Dan permintaan itu harus dapat dalam waktu paling singkat tanpa dia harus berusaha selazimnya. Itu adalah nafsu.dua sisi

Pekanbaru, 22 April 2009 (10.37 WIB)


Pilihan Mati

Seorang bapak bertanya kepada anak bujangnya, “Apa yang kau inginkan ketika bapakmu akan mati?”

“Aku mau..” hanya kata itu.

“Apa yang kau inginkan ketika ibumu akan mati?” tanya bapak lagi.

“Aku mau…?” kata itu lagi yang ia bisa jawab.

“Apa yang kau ingin gapai ketika bapak dan ibumu akan mati selama-lamanya?” tanya bapak kepada bujangnya lagi.

“Hmm…” dengum itu saja.

Anaknya masih saja berpikir akan bagaimana kalau pilihan itu terjadi padanya. Pernahkan kita mendengar, kalau si anak rela mati agar bapak dan ibunya tak mati dengan suatu pilihan?

“Daripada bapak dan ibu mati karena suatu pilihan, aku rela mati asalkan bapak dan ibu tak mati, agar kedunya bisa mendo’akan aku menjadi anak yang berbhakti!”

Kita tahu, untuk membesarkan kita, keduanya telah mati-matian. Akankan keduanya harus mati dahulu? Sementara kematian itu seharusnya ada pada kita.

Pekanbaru, 22 April 2009 (10.58 WIB)


Pentingnya Marah

Marah terkadang menjadi hal yang penting ketika hati tengah gundah. Tak ada lagi katanya, "marah itu sahabat setan!" karena amarah itu perlu dilakukan. Ironisnya, marah ini mampu melakukan perubahan. Tapi ingat, marah bukan kebutuhan – melainkan sahabat yang paling kita kucilkan. Dia tetap sahabat, tepapi dia akan dimanfaatkan pada saat marah itu penting. Tapi, kapan penting itu muncul? Ya, pada saat kegembiraan sudah tak dapat diraih.

Pekanbaru, 23 April 2009 (09.43 WIB)


Putus Asa dan Tabah

Putus asa selalu melekat pada sikap yang lemah. Dia menjadi teman setia ketika putus asa itu tak mampu diobati. Berbagai cara dilakukan agar putus asa jauh, namun dia tetap saja ada pada yang lemah. Serahkan putus asa itu di setiap waktu yang tak luput dari kekurangan. Anggap kekurangan sebagai obat keputusasaan. Karena keputuasaan adalah bakteri penyemangat untuk menguji kita bisa tersenyum dan tabah.
Pekanbaru, 24 April 2009 (09.15 WIB)


Puas Adalah Waktu yang Aneh

Kepuasan selalu menjadi waktu yang paling aneh. Dia selalu menjadi incaran siapa saja orangnya. Dan tidak pernah ketemu di mana kepuasan itu berada. Bahkan kepuasan selalu diraih dengan berbagai cara, termasuk nyawa taruhannya. Aneh memang. Tapi apakah tuhan sengaja mengabur-ngaburkan kepuasan itu agar dia selalu dicari dan terus digapai? Kepuasan hanya ada di dalam jiwa yang qona'ah.

Pekanbaru, 24 April 2009 (15.40 WIB)


Tak Selamanya Sesat

Hari Sabtu aku dengan seorang teman menggunjing tentang temanku yg menikah hari itu tanpa direstui oleh bapak kandungnya. "Kenapa zaman sekarang masih saja ada orangtua yg intervensi pilihan anak soal jodoh. Yang “makai” ‘kan anaknya, bukan bapaknya?" kataku kepada temanku. "Ia, aneh!" jawabnya. Hari Minggunya aku dapat kabar, "Kalau temanku itu menikah bersama seorang perempuan yang sudah memiliki seorang anak tanpa diketahui siapa bapak dari anak itu”. Tak selamanya ketidakinginan orangtua itu sesat bagi anak kandungnya.

Pekanbaru, 27 April 2009 (09.59 WIB)


Anak Kini Terbuang

Anak bukan titipan. Anak bukan rezeki. Anak tidak anugerah. Anak bukan berkah. Anak bukan harapan.

Anak adalah tangis. Anak adalah buang. Anak adalah kacau. Anak adalah pilu. Dan anak adalah karam padam.

Kini ia terbuang, tak siang dan tak malam. Hanya terbuang oleh harapan.

Pekanbaru, 27 April 2009 (12.06 WIB)


Kita Lupa

Bencana terkadang menjadi ajang solidaritas orang, cari perhatian, dan memanfaatkan peluang melalui kelemahan. Tapi paling dijauhkan, "Kalau bencana adalah sebagai ajang mengingat sewaktu bahagia dulu dan menyadari kalau bencana itu adalah akibat kita lupa". Tuhan adalah Maha Kuasa bagi segala kita yang selalu mengaku kuasa.

Pekanbaru, 27 April 2009 (12.52 WIB)

Enak Itu Jujur

Ramah dalam berdagang sebenarnya adalah faktor utama agar laris. Enak makanan yang dijual adalah nomor dua. Cepat saji terkadang menentukan langganan untuk tetap berbondong datang. Dan dagangan bersih memang wajib ada. Tetapi hal yang tak nampak selalu menjadi prioritas pedagang, yakni kejujuran. Kalau tak jujur, bisa saja dagangannya dikatakan bersih, enak, cepat saji, dan ramah yang dibuat-buat. Utamakan jujur.

Pekanbaru, 28 April 2009 (09.37 WIB)


Bulan dan Matahari adalah Waktu yang Tepat

Bulan dan matahari bukanlah budak manusia, dia adalah petugas yang patuh terhadap atas perintah-Nya. Tak sama dengan arloji yang dapat diputar-balikkan. Makanya, Aku manfaatkan bulan dan matahari sebagai waktu yang pasti untuk menentukan diri, "Mau kemana Aku?". Introfeksi adalah waktu yang paling tepat.

Pekanbaru, 28 April 2009 (09.37 WIB)


Petang Bukan Sebagai Petanda

Hari menjelang petang. Kerjaan terkadang membuat hidup kita terang. Petang bukan berarti petanda pekerjaan akan berakhir sudah, melainkan masih ada jenjang yang lebih menyulitkan lagi pada esok dan pada hari yang akan datang belum kita terka.
Pekanbaru, 28 April 2009 (14.58 WIB)


Kebohongan Bathin

Orang yang tak pernah beruntung di bathin dalam hidupnya adalah, orang yang setiap omongannya mengandung kebohongan. Setiap apa saja yang dia katakan lebih mengedepankan kata “tak” dan “entah”. Kemudian setiap apa saja yang ia katakan tak sepintas orang pun percaya – sehingga ia harus pasrah terus menahan atas siksaan bathin dunia. Apalagi yang ia harus perbuat ketika kepercayaan saja orang pun enggan bersahabat?

Pekanbaru, 30 April 2009 (11.03 WIB)


Kita Adalah Hati yang Tak Tampak

Kita bukanlah muka kita. Kita bukanlah nama kita. Kita bukanlah badan kita yang tampak. Kita adalah kita yang tak pernah tampak. Muka adalah identitas. Nama adalah julukan. Badan kita adalah tompangan. Kita di hati kita. Hatilah yang menentukan kita “apa” dan “siapa”, “ baik” dan “buruk”, dan “taqwa” atau “tidak”.

Pekanbaru, 01 Mei 2009 (10.34 WIB)


Kata Indah di Pertengkaran

Kata indah tidak saja ada pada saat ustad memaparkan materi keislamannya. Kata indah tidak saja hadir ketika penyair menulis sajaknya. Kata indah tidak saja muncul ketika nasihat menjadi ejaan penting. Tapi, kata indah terkadang terlahirkan dari sebuah pertengkaran hebat. Ada berkah di sana dan ada perbaikan jiwa yang tersulut oleh api. Mari berdamai.

Pekanbaru, 01 Mei 2009 (10.39 WIB)


Jalan Panjang Tak Berujung

Menjadi yang terbaik tidak saja dari sebuah cita-cita yang terkabul, melainkan dari hasil gambar tatapan mata yang jujur adalah cita-cita yang sering terlupakan. Dialah jalan panjang tak berujung itu.

Pekanbaru, 04 Mei 2009 (10.19 WIB)


Salam Angan

Salam adalah pertemuan yang penting bagi aku. Mengingat adalah angan yang patut disalam kembali.

Pekanbaru, 04 Mei 2009 (14.41 WIB)


Rasa Sungkan Bagi Bangsa Ini

Biasalah. Setiap ada pesta demokrasi selalu ada berbagai macam saran dan kritikan supaya kehendak masing-masing mau direspon dan direalisasikan. Kalau tidak, justru ego fisik dan ego hati yang dendam lebih dikedepankan. Mana mau tahu yang lebih dipentingkan itu adalah “bangsa dan rakyat”. Tak penting lagi rasa malu dan rasa sungkan pada bangsa ini yang berdiri di tiang rapuh. Rapuh dari berbagai persoalan yang membuat bangsa ini bisa rubuh. Sekarang dicari pemimpin yang mampu menahan tiang rapuh itu – kemudian diperbaiki agar kokoh kembali. Dialah rasa persatuan dan saling menyayangi antar sesama. Ingat bangsa ini harus berprinsip untuk tak melupakan rasa persatuan. Biarlah perbedaan itu sangat mencolok saat ini, tapi persatuan yang telah diwariskan agar bisa diwarisi kembali ke anak cucu nanti. Biar mereka tahu, “Kalau pada masanya dia merasakan ada persatuan di lingkungan mereka”.

Pekanbaru, 5 Mei 2009 (10.23 WIB)


Bingkai Tak Dikenang

Sejarah memang tak mampu kita ulang, tapi kita bisa mengulanginya dalam introfeksi diri di masa kini. Yang dulu adalah yang lalu, yang baik dulu adalah tetap masa kekinian. Yang buruk sejarah dulu, ia adalah bangkai yang tetap menjadi bingkai untuk tak dikenang.

Pekanbaru, 6 Mei 2009 (10.29 WIB)


Malam yang Mengancam

Malam kerap dijadikan waktu persiapan esok. Pagi selalu dijadikan hari untuk menggesa agar tak terlambat. Siang akrab dinobatkan sebagai jam istirahat. Sore dan petang adalah mempersiapkan untuk kembali menemukan malam. Malam kembali ditemukan untuk persiapan esok yang belum tentu pasti menemukan pagi hingga petang. Karena mati selalu mengancam pada tidur malam kita.

Pekanbaru, 6 Mei 2009 (11.15 WIB)


Halal Adalah Segalanya

Maka bertanyalah seorang anak ke Ibunya, "Kenapa aku tak boleh ikut memulung bersama Ibu?" seperti percakapan biasa ibu menyampaikan, "Dari barang bekas ini Ibu menunjukkan ke kamu, kalau kau harus menjadi sarjana seperti anak kebanyakan! Agar kamu tahu kalau pekerjaan ini masih halal, Nak!" anak pun kembali memainkan mobil-mobilan hasil mulung ibunya.

Pekanbaru, 7 Mei 2009 (10.32 WIB)


Cium Kening Ibu Karena Tak Miliki Kaki

“Bu! Aku sudah sarjana!” kata anak ke Ibunya sesudah wisuda sarjana. “Ia, Nak. Mari kita pulang. Ibu harus memulung kembali agar kau bisa makan enak malam ini – sebagai hadiah Ibu ke kamu,” kata Ibu sesudah mencium kening anaknya yang masih mengenakan pakaian toga. “Ia, Bu,” anak pun mencium kening Ibunya yang tak memiliki kedua kaki itu.

Pekanbaru, 7 Mei 2009 (10.49 WIB)


Marginalisasi Budaya

Makhluk berbudaya, dialah yang masih menganut setiap kebaikan masa lalu di dalam masa kininya. Manusia yang berbudaya (kini) adalah, dia yang tetap memandang westernisasi adalah kiblat baginya, dan budaya lama adalah marginalisasi.

Pekanbaru, 8 Mei 2009 (10.05 WIB)


Apa Arti Sebuah Nama?

"Kamu saya tangkap! Karena kamu pengedar narkoba" kata polisi kepada Amir.

"Tidak! Saya tidak pengedar narkoba!" jawab Amir.

"Coba lihat KTP kamu!" sambil mengambil KTP dari saku Amir.

"Ooo.. Ia...maaf! Ternyata kamu bukan Ardi yang kami maksud!"

Kalau sudah seperti itu, siapa yang bilang "Apalah arti sebuah nama?"

Pekanbaru, 8 Mei 2009 (10.19 WIB)
Selengkapnya...

Senin, 23 Juli 2012

Naskah Drama Karya Parlindungan


Negeri Lancang Merdeka

Naskah Drama 3 Babak
Karya : Parlindungan
Karya ini menjadi Juara Ketiga Laman Cipta Sastra DKR 2008 Tingkat Nasional


PARA PEMAIN :
1. TAB (Laki-laki 45 tahun)
2. LONG (Laki-laki 45 tahun)
3. PIETER (Laki-laki 45 tahun)
4. PAIJAN (Laki-laki 45 tahun)
5. PRESIDEN MERDIAM (Laki-laki 55 tahun)
6. ADANG (Laki-laki 45 tahun)
7. AZLAINI (Perempuan 45 tahun)
8. ANAK KECIL (10 tahun)
9. PAMONG 1
10. PAMONG 2
11. PAMONG 3

SINOPSIS :
Siapa yang mengira, kalau sebuah peradaban bangsa hanya dihargai tetek-bengek janji. Dan siapa mengira, kalau negeri tidak lagi menjadi tumpuan mata yang tengah redup dari teriknya matahari.

Cerita yang diangkat dari sebuah kisah mimpi – di sebuah peradaban yang tertindas, mencoba mengenang tangisan sang ibu – yang susah untuk membeli setekong beras, fakir miskin yang susah menguburkan mayat sanak keluarganya – karena tidak memiliki uang untuk membayar ongkos pemakaman. Lalu, meneroka lebih dekat tertindasnya cita-cita dan harapan anak bangsa – untuk hidup yang lebih layak, dan juga mengisahkan banyak penderitaan lain – karena Negeri Lancang yang enggan berlayar malam – akibat berbahaya atas ombak yang tinggi.

Negeri Lancang ingin memerdekakan Negerinya. Karena alasan di atas, merupakan alasan yang tepat untuk memisahkan dari bangsa yang terpuruk. Aksi separatisme adalah jalan satu-satunya, agar keinginan untuk merdeka bisa tercapai. Bendera Negeri Lancang adalah simbol kemerdekaan Negeri ini.

Mampukah Negeri Lancang mengibarkan bendera di tengah padang gersang nan luas? Mampukah Negeri Lancang memancangkan tekad untuk memproklamasikan kemerdekaan? Dalam imajinasinya mereka mampu, karena ada sejarah dan jati diri yang hilang di telan genggaman kekuasaan.

Kisah ini kisah nyata di Negeri Lancang Kuning, Riau, yang diabstrakkan.
BABAK I

Pemain :
1. LONG
2. TAB
3. PAIJAN
4. AZLAINI
5. ADANG
6. PIETER

Property/setting :
1. BENDERA-BENDERA BESERTA TIANG KAYU BENDERA
2. 2 BUAH KURSI KAYU
3. 1 BUAH MEJA KAYU
4. RADIO
5. KLIPINGAN KORAN-KORAN

Lokasi : RUANGAN KEDIAMAN TAB

Di sebuah ruang tengah tanpa ada banyak property interior rumah. Hanya terdapat banyak bendera-bendera – sebagai lambang keinginan merdeka di Negeri itu. Selain itu, ada dua buah kursi dan satu buah meja. Lalu klipingan-klipingan koran yang tertempel di dinding-dinding ruangan itu juga menghiasi ruangan. Terlihat, Tab melamun duduk di lantai ruangan. Tab menatap tajam bendera yang ada di genggaman kedua tangannya. Suara berita radio ikut menghiasi suasana pada saat itu. Long, sahabatnya menghampiri Tab.

1. LONG :
Tab! Sudahlah! Jangan lagi kau tatap lama-lama bendera itu. Dia tidak akan mampu mengubah nasib kita, mengubah nasib Negeri ini, Tab! Memang kita semua memiliki masa lalu yang suram. Kita memang memiliki sejarah yang dalam untuk dihilangkan dari catatan-catatan sejarah, agar anak-anak kita tidak lagi mampu menghapal nama-nama tokoh yang telah berhasil mengukir bangsa ini menjadi sebuah senyuman yang abadi. Tab! Tab! Kau dengar ucapanku..?

2. TAB :
(Sambil menatap tajam bendera yang dipegangnya sedari tadi) Aku dengar ucapanmu, Long. Ya..., aku simak penjelasanmu. Cuma aku hanya meratapi! Mau dibawa ke mana sejarah ini! Mau dibawa ke mana anak-anak kita? Kekayaan kita? Marwah kita? Dan peradaban kita yang telah hilang puluhan tahun lalu.

3. LONG :
Paling-paling aku hanya bisa menjawab kata-kata lamaku. Tidak lain aku hanya bisa berucap, kalau kekhawatiranmu sudah ada yang mengurusnya. Bahkan, sudah ada yang menjamin kalau anak-anak kita, orang-orang miskin, dan bahkan manusia yang terlantar akan mati pun ada yang merawatnya, Tab!

4. TAB :
Merawatnya katamu, Long? Apa kau tidak bisa melihat dengan matamu yang tidak terkena katarak itu, dengan kenyataannya di Negeri Lancang ini! Untuk kau ketahui, tadi pagi saja aku sudah ditodong oleh anak yang berusia lima tahun, dia meminta belas kasihan, agar dia diberikan sarapan. “Dia sangat lapar,” katanya. “Dia tidak sekolah,” katanya. “Dia tidak punya rumah lagi, karena telah dibakar Pamong dua minggu lalu karena rumahnya dianggap sebagai gubuk liar”. Dan yang sangat menyedihkan.., bapak ibunya telah mati dimakan cacing-cacing tanah bulan lalu. Antan patah, lesung pun hilang. (1) Itukah yang kau katakan ada yang menjamin? Omong kosong! Omong kosong, Long!

5. LONG :
Makanya aku katakan padamu, Tab. Itu masa lalu yang tidak akan pernah akan ada ujungnya. Itu persoalan manusia yang sulit kita tebak mana mata pisau yang tajam, untuk mengiris-iris menjadi rata pada sebuah keinginan dan cita-cita Negeri ini, Tab.

6. TAB :
Cita-cita itu sudah menjadi debu, dan debu itu pun sudah hinggap entah di mana dia. Di daunkah? Di jalan-jalan trotoarkah? Di ban mobil? Atau.., di kening mereka masing-masing yang telah lupa asal hidup mereka. Ya.., Angus tiada berapi, karam tiada berair. (2)

7. LONG :
Tab..!
8. TAB :
(Memotong pembicaraan) Sudahlah! Jangan lagi kau cerca aku dengan gaya bahasa bangsamu itu. Aku sudah muak. Negeri Lancang ini sudah rindu dengan mata air, yang dahulunya sudah penat dengan air mata yang terus menetes deras bersamaan dengan beriaknya ombak laut yang kedalamannya sa.. ngat dalam. Sanga..t dalam!

9. LONG :
Aku menantangmu, Tab! Apakah dengan kau menatap tiap hari bendera-bendera itu, harapan Negerimu ini bisa membuat kau tertawa terbahak-bahak bersama yang menderita di Negeri Lancang ini?

10. TAB :
Aku menjamin bisa. Dengan syarat, kau juga ikut meratapi bendera ini hingga kau sadar, kalau bendera ini sudah puluhan tahun tersimpan di dalam peti mati yang bapakku buat dulu, sebelum dia mengakhiri hayatnya, yang pada saat itu mati ditembak senapan oleh Pamong. Pamong itu mengatakan, “Bapakku penjajah, bapakku separatisme, bapakku pengkhianat, dan bapakku anjing dan musuh bangsa”. Tapi, sebahagian orang-orang bilang, “Bapakku Sang Malaikat yang membunyikan sang-sakakala, sebagai awal merubah kehidupan yang abadi”. Tapi..., itu dulu. Diakan sudah mati. Cuma aku punya tanggungjawab atas warisan bapakku. Apakah akan kubiarkan saja bendera-bendera ini disimpan di peti mati, yang peti matinya saja sudah lapuk digerogoti rayap.
(Tab menoleh cepat ke arah Long)
Hey, Long! Perhatikan aku. Ini penting!

11. LONG :
(Seakan-akan mengacuhkan pembicaraan. Dengan nada yang menyindir) Penting hanya bagimu, tapi.., tidak bagi bangsa ini. Negeri Lancang ini sudah lama diam dengan pendiriannya, jadi kau tak perlu usiklah!

12. TAB :
Biarkan saja. Aku akan mengusiknya kembali. Aku akan memporak-porandakan keranda-keranda kematian Negeri Lancang ini, supaya mereka sadar, kalau bapakku yang telah mati dahulu, masih hidup rohnya di masa kini!

(Tiba-tiba disela percakapan itu, Pieter datang dengan logatnya yang khas sebagai orang Batak, terburu-buru dan panik menjumpai Tab sambil membawa tumpukan bendera-bendera)

13. PIETER :
Tab..! Tab..!

(Tab dan Long terkejut melihat kedatangan Pieter yang panik seperti dikejar-kejar setan)

14. TAB :
Ada apa?

15. PIETER :
Hancur, Tab! Hancur sudah!

16. TAB :
Ia kenapa? Ada apa, Pieter?

17. PIETER :
Paijan mati ditembak Pamong, dan Azlaini beserta Adang tertangkap, Tab!

18. TAB :
Biadab! (Diam terpaku. Geram. Dan memeras gemetar bedera di tangannya)


LAMPU PADAM


Cerita kilas balik beberapa jam sebelum Paijan mati, dan Ijang beserta Adang tertangkap. Masih di tempat dan property yang sama.

(Sambil memasang ikatan tali bendera ke kayu-kayu yang telah disediakan, Paijan, Azlaini, Adang, dan Pieter, terburu-buru memasang bendera)

19. PAIJAN :
Sudah saatnya ada perubahan pada Negeri ini! Kita jangan hanya bisa menjadi orang-orang tertindas pada masanya!

20. ADANG :
Benar! Siapa lagi kalau bukan kita.

21. PAIJAN :
Kita harus cari moment yang pas, agar bendera-bendera ini bisa gagah berdiri di Negeri Lancang yang kita duduki ini. Darah taruhannya, Dang. Aku siap mati! Agar bendera ini bisa terpancang di pelupuk mata Presiden Merdiam Bangsat itu!

22. AZLAINI:
Merdiam itu tidak tidak punya mata. Jangankan mata, hati pun dia tidak punya. Dia bagai udang, yang seharusnya pada kepalanya terletak otak untuk berpikir, toh malah taik yang ada di pori-pori kepalanya.

23. PAIJAN :
Azlaini.., tapi udangkan enak, apalagi kalau dia digulai. Ha..haa..!

24. ADANG :
Sudah! Kita tidak punya waktu banyak untuk berbicara yang tak berguna.
Kita pasang bendera-bendera ini sebelum waktu Shubuh tiba.
Azlaini, kau pasang bendera-bendera yang telah kau ikat ke sejumlah titik jalan yang kerap dilewati Sang Presiden Merdiam. Aku, Paijan, dan Pieter memasang bendera ini di depan Istana Negara dan ke sejumlah kantor identitas bangsa. Jangan lupa, kita sudah harus sampai ke ruangan ini sebelum adzan Shubuh. Ayo, kita berangkat!

(Akhirnya, atas instruksi itu mereka semua pergi meninggalkan ruangan. Mereka bergegas menancapkan bendera-bendera yang telah disiapkan)

LAMPU PADAM

Kembali ke cerita awal antara Tab, Long, dan Pieter.
(Tab tetap memeras gemetar bendera yang ada di tangannya pada posisi awal ia berdiri. Tatapannya tajam ke depan. Geram pada ekspresinya. Dan, Pieter hanya bisa merundukkan kepalanya. Lalu, Long senyum sinis ke arah Tab. Tiba-tiba suara berita radio memberitakan, kalau beberapa saat lalu ada berita duka. Si pembaca berita menginformasikan, “Kalau pada lewat tengah malam itu telah terjadi bentrok antara Pamong dan sejumlah separatis Negeri Lancang Merdeka. Dari insiden tersebut, satu orang di antaranya tewas ditembak Pamong, dan dua orang lainnya ditangkap Pamong”. Dan dari informasi itu, “Pamong tengah memburu otak separatisme Negeri Lancang Merdeka, yang mereka sebut-sebut adalah Tab”. Dengan geram, Tab mematikan radio yang mereka dengar)

25. LONG :
Ha...ha...! Bagai angan-angan mengikat tubuhnya sendiri.(3) Tadi sudah saya katakan kepada kau, Tab, “Kalau kau tak usah payah-payah memperjuangkan aksi separatismu”. Kau akan mati nantinya seperti sahabatmu. Dan klipingan koran yang kau terus menempelnya di dinding ruangan ini, nantinya akan besedih ketika kau telah mati. Kalau aku boleh mengatakan, kau juga bagai angan lalu, tapi paham bertumbuk.(4)
(Long menatap ke arah klipingan koran-koran di dinding)
Ya..! Koran ini memuat, “Kalau Aceh telah merdeka”. Memang Aceh sudah merdeka, tapi tumpah darahnya hingga saat ini tidak pernah kunjung selesai. Dan koran ini juga pernah memuat, “Kalau Papua juga ingin merdeka”, tapi, nyatanya hanya isapan jempol belaka.(5) Dan, apakah Negeri Lancang ini juga akan merdeka? Nyawa taruhannya, dan Negeri ini juga tidak akan merdeka-deka, Tab! Aku lebih memilih jalan pintas untuk mengamankan aku dan keluargaku dari kejaran Pamong Pemerintah Pusat. Lebih baik aku tidak bekerja keras membantumu untuk memerdekakan Negeri Lancang ini, daripada aku dianggap sebagai pengacau negara.

26. TAB :
(Tab mendekati Long dan meremas kerah baju Long
sambil menatap tajam matanya)
Kau memang tidak dianggap pengacau oleh Pemerintah Pusat! Tapi kau adalah Biadab bagi Negeri Lancang ini! Kau tidak memahami atas perjuangan ini, Long. Perjuangan ini juga bahagian untuk menghidupi istrimu yang saat ini bekerja sebagai pembantu di rumah orang Cina yang ada di depan rumahmu. Dan perjuangan ini pula, untuk membantu anakmu yang saat ini sedang kekurangan gizi karena tidak pernah diberi susu bergizi. Kau encamkan itu, Long!
(Tab melepaskan remasan tangannya di kerah baju Long perlahan-lahan)
Paijan.., Azlaini.., dan kau Adang.., kalaulah kalian berada di sini saat ini, pastilah kalian tidak memasang bendera Negeri Lancang Merdeka di depan Istana Negara itu, melainkan memancang di mulut kau, Long Biadab!

27. LONG :
Seandainya Pamong-pamong negara tahu tempat markas kau saat ini, dia akan mengepungmu. Dan, setiap Pamong menyediakan ratusan peluruh senjata laras panjang untuk menembuskan pelurunya ke kepalamu, dadamu, jantungmu, hatimu, dan tepat ke arah otakmu yang bermimpi ingin merdeka itu!

28. TAB :
(Tab semakin geram, dan menjerit sejadi-jadinya)
Se..taaa..nn!! Biadab kau, Long!!
(Tab mengambil kursi kayu yang ada di ruangan itu, dan melempar ke arah Long yang bertepatan pada saat itu lari keluar ruangan. Tab terus menjerit histeris. Geram. Panik, dan akhirnya bertekuk lutut)

LAMPU PADAM

BABAK II

Pemain :
1. AZLAINI
2. ADANG
3. PRESIDEN MERDIAM
4. PAMONG 1
5. PAMONG 2
6. PAMONG 3
7. PAIJAN

Property/setting :
1. BENDERA NEGERI LANCANG MERDEKA
2. JERUJI / RUANG PENJARA
3. 1 BUAH MEJA KAYU
4. 1 BUAH KURSI KAYU
5. ROKOK
6. TALI
7. KAIN PENUTUP MATA
8. SEJUMLAH SENJATA LARAS PANJANG

Lokasi : RUANG TAHANAN/PENJARA NEGARA

(Di ruang tahanan Negara, Presiden Merdiam yang didampingi sejumlah Pamong, mengintograsi Azlaini dan Adang yang sedang meringkuk di jeruji besi Negara)

29. PRESIDEN MERDIAM :
(Sambil merokok dan beberapa kali menghembuskan asap yang telah dihisap dari rokoknya. Bergaya sangat angkuh dan arogan)
Sedari dahulu, saya mengatasnamakan Presiden Negara ini, sudah mengingatkan supaya kalian jangan menjadi separatis. Separatisme adalah musuh utama bagi negara ini. Itu pengkhianat namanya. Dan kalian tahu, kalau pengkhianat harus dihukum mati. Kalaulah ada hukuman yang lebih kejam dari itu, maka saya akan memberlakukannya itu pada kalian, si pengacau, si perusak persatuan, dan si jalang bagi Bangsa ini! Kalian tahu bukan, orang-orang yang pernah berupaya untuk menjadi pengacau, sudah dipancung dahulu lehernya, sehingga kepala dan badannya terpisah jauh! Janganlah kalian berangan menjadi pahlawan di siang bolong. Tak ada gunanya. Toh, bangsa ini tetap tidak menghargai perjuangan kalian! Apakah dengan undang-undang yang aku sampaikan ini, tidak membuat kalian mengubah niat untuk tetap menjadi separatis?

30. AZLAINI :
Wahai, Presiden Merdiam! Anak panah yang sudah terlepas dari busurnya, dia tidak akan dapat dikembalikan lagi.(6) Makanya kami tidak akan mengubah keinginan kami menjadi pahlawan bagi Negeri Lancang kami. Kami ingin merdeka...! Kami ingin perubahan..! Kami ingin bangsa kami menjadi Negeri yang beradab.., bukan biadab!

31. PRESIDEN MERDIAM :
(Mondar-mandir di hadapan Azlaini dan Adang sambil tetap merokok.
Panik dan geram)
Aku sudah menebak tentang apa yang kau sampaikan dalam peribahasa itu. Tapi, kalian tidak pernah menyadari, dari peribahasa itu memang benar adanya, kalau anak panah akan terlepas dari busurnya, tapi dia mengejar sasarannya, ya.., tepat mengenai jantung kalian. Dan kalian akan mati bersama busur-busur yang bermata tajam itu. Aku tawar sekali lagi dengan sepuluh jariku, untuk kalian menjadi manusia-manusia biasa saja, tidak separatis, tidak pengacau, dan tidak memuakkan bagi Bangsa ini!

32. ADANG :
Tidak!! Biarlah kami menjadi diri kami sendiri. Mau sebagai separatis, pengacau, dan bahkan memuakkan sekalipun, kami tetap ingin merdeka. Kami tidak akan gentar dengan tawaran-tawaran menyesatkan itu. Apa yang digaduhkan, pengayuh sama di tangan, perahu sama di air.(7)

33. PRESIDEN MERDIAM :
Sangat menarik sekali. Cocok menjadi pahlawan. Tapi.., pahlawan bagi orang-orang pencuri, orang bodoh, dan orang-orang yang tidak mengerti akan keadaan.
34. AZLAINI :
Kami ingin merdeka..!!

35. ADANG :
Kami ingin sejahtera!!

36. AZLAINI :
Kami ingin kepuasan..!!

37. ADANG :
Kami ingin beradab!!

38. AZLAINI :
Kami ingin dipandang..!!

39. ADANG :
Kami tidak mau dijajah!!

40. AZLAINI :
Kami tidak mau dibodoh-bodohi..!!

41. ADANG & AZLAINI :
Negeri Lancang kami ingin merdeka..!!

42. PRESIDEN MERDIAM :
(Marah) Diam!! Muak! Muak! Muak aku mendengarnya!! Kalian sudah lancang. Kalian harus sadar, kalau kalian saat ini berhadapan dengan Presiden. Dan kalian harus juga sadar, kalau kalian saat ini di dalam jeruji besi, dan menunggu mati. Tampaknya saya akan membuat kalian sadar pada hari ini!

(Presiden Merdiam menepuk dua kali telapak tangannya. Dan tak lama setelah itu, datang dua orang Pamong yang menyeret Paijan yang sudah menjadi mayat. Paijan kondisinya sangat mengenaskan. Seluruh tubuhnya bersimbah darah – akibat tembakan senjata api Pamong – pada saat Paijan dan kedua rekannya memasang bendera Negeri Lancang Merdeka di sejumlah titik strategis. Mayat Paijan dibawa ke hadapan kedua rekannya – Azlaini dan Adang)

43. PRESIDEN MERDIAM :
Kalian lihat. Tatap dengan seksama mayat sahabat karib kalian ini. Inilah jadinya bagi orang-orang yang memiliki cita-cita separatis. Ini adalah baru sebahagian sikap dan kebijakan arif pemerintah. Sebenarnya kalian memiliki peluang untuk tidak menjadi orang yang menyusul arwah sahabat kalian ini di alam baka. Makanya saya yang mengatasnamakan Presiden akan memaafkan kalian, apabila kalian mau berjanji secara tertulis akan menjadi warga Negara yang baik yang tidak separatis. Bagaimana?

44. ADANG :
Biadab!! Tak punya hati nurani. Biar kami mati, asal perjuangan kami ingin merdeka bisa dihargai oleh Bangsa terpuruk ini! Mayat itu tidak mati, tapi rohnya tetap saja membawa bendera Negeri Lancang Merdeka yang akan menancapkan ke seluruh penjuru Negeri ini! (histeris)

45. PRESIDEN MERDIAM :
Pamong! Keluarkan pengkhianat ini!

(Dua orang Pamong yang bergerak dari posisinya melaksanakan perintah Presiden Merdiam. Pamong yang satu membuka jeruji yang tergembok, dan yang satunya lagi membawa keluar Adang dengan kasar. Jeruji ditutup kembali. Lalu, Adang diperintahkan Presiden Merdiam untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. Di atas meja itu kepala Adang ditekan paksa oleh Presiden Merdiam karena marah – tidak terima atas ungkapanya yang dinilai terlalu lantang)

46. PRESIDEN MERDIAM :
Kalau saja Negeri Lancang kalian merdeka, dan sepertiganya saja warganya seperti kalian, tentunya parah kondisi Negeri kalian!

47. ADANG :
(Dengan posisi kepalanya tertekan tangan Presiden Merdiam di atas meja) Dan Negeri kami akan bertambah parah kalau dipimpin oleh presiden yang biadab tak beradab, yang sikapnya selalu kasar dan rakus!

48. AZLAINI :
Hei! Biadab lepaskan dia! Lepaskan! Kurang ajar! (menjerit)

(Presiden Merdiam melepaskan tekanan tangannya di tengkuk Adang secara perlahan-lahan – dan menatap ke arah Azlaini yang masih dalam jeruji besi. Lalu, melangkah ke arah Azlaini)

49. PRESIDEN MERDIAM :
Apa yang kau katakan? Coba kau ulangi sekali lagi?! Ayo katakan! Katakan!! (Menjambak rambut Azlaini)

50. AZLAINI :
Kau Biadab!! Cueh! (Meludahi wajah Presiden Merdiam)

(Lalu Presiden Merdiam mengambil senjata Pamong yang ada di sampingnya. Dan menembak Azlaini di dalam jeruji besi itu. “Dor! Dor! Dor!” Tiga peluru menembus tubuh Azlaini. Dan Azlaini jatuh seketika. Mati)

51. PRESIDEN MERDIAM :
Ada sirih, hendak makan sepah pula! (8) Inilah akibat orang yang melawan Presiden. Mati di tangan Presiden sendiri. Hmm..Hmm..! (Tertawa kecil)

(Adang marah dan bangkit dari posisinya. Namun tertahan oleh dua orang Pamong yang berada di samping Adang)

52. ADANG :
Patutlah kami ingin merdeka. Dan, patut pula kami tidak menyetujui atas kepemimpinan Hitler semacam kau!! Seenaknya saja merenggut nyawa manusia dengan gampang. Kau Presiden, takkan mampu mengganti nyawa dan perjuangan kami. (Bergerak-gerak berusaha untuk lepas dari sekapan Pamong)

53. PRESIDEN MERDIAM :
Ternyata kau tak terenyuh juga melihat kondisi kedua sahabat karib kau yang malang nasibnya. Saya mengatasnamakan Pemerintah Negara ini, hanya meminta supaya hentikan separatisme di Negara ini. Tidak ada yang lain selain hentikan separatis! Hentikan separatis!

54. ADANG :
Tidak ada yang separatis di Negara ini. Kami hanya ingin memerdekakan Negeri kami. Kami hanya ingin lebih beradab dan dipandang oleh Bangsa ini. Nyawaku taruhannya untuk tetap merdeka.

55. PRESIDEN MERDIAM :
Hei! Kau sadar tidak, kalau kau saat ini hanya dua meter dari aku yang membawa senjata ini. Tidak sampai sedetik, bisa tercabut nyawamu. Dan yang aku bawa ini juga bisa menyetarakan kau dengan kedua sahabatmu yang sudah mendahuluimu ke neraka.

56. ADANG :
Kau Presiden yang tak adil yang harus ke neraka jahanam. Bukan kami yang ingin bercita-cita ini! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Biadab!

57. PRESIDEN MERDIAM :
Ternyata kalian sama saja sifatnya. Keras kepala dan bedebah! (Menyeramkan wajahnya persis di depan muka Adang)

58. ADANG :
Tembak saja aku, Presiden! Tembak saja! Biar kau puas!! (Membalas seramkan wajah di wajah Presiden Merdiam)

59. PRESIDEN MERDIAM :
Itu gampang dan sangat mudah sekali. Dan itu akan saya lakukan sekarang juga. Pamong ikat dia di kursi itu dan tutup matanya.

60. PAMONG 1 & 2 :
Baik laksanakan, Presiden!

(Pamong 1 memaksa mendudukkan Adang di kursi, dan Pamong 2 mengambil tali dan kain untuk menutup mata Adang. Lalu, Pamong mengikat dan menutup mata Adang dengan posisinya terduduk)

61. ADANG :
Ayo tembak aku, Presiden! Tembak aku!

(Terus mengulangi kalimat nekat itu. Dan.., “Dor..!! Presiden Merdiam menembak. Peluru itu tepat mendarat ke dada Adang)

62. ADANG :
(Sekarat. Dengan suara yang terpatah-patah) Presiden..! Ter.. nyata.., kau.., bagaikan bujang.., baru berkeris.., bagai.., gadis baru bersubang.., dan.., bagai.., si buta.., baru.., bisa melihat...!(9) Akhhg! (Adang pun mati seketika)

(Setelah itu, tiba-tiba datang Pamong 3 menghampiri Presiden Merdiam)

63. PAMONG 3 :
Lapor, Presiden! Ada seorang laki-laki paruh baya ingin bertemu dengan Presiden. Dan dia sekarang ada di luar.

64. PRESIDEN MERDIAM :
Siapa dia? Dan apa maksud kedatangannya?

65. PAMONG 3 :
Dia mengaku, “bernama Long”. Dan maksud kedatangannya untuk menunjukkan keberadaan markas Negeri Lancang Merdeka, Presiden!

66. PRESIDEN MERDIAM :
Oh ia! Suruh dia masuk!

67. PAMONG 3 :
Baik, Presiden!

(Tak lama setelah itu, Pamong 3 membawa masuk Long ke dalam ruangan untuk berhadapan dengan Presiden Merdiam. Dan Pamong 3 kembali ke luar ruangan)

68. LONG :
(Sambil melihat situasi dan kondisi ruangan) Presiden, kenalkan saya...

69. PRESIDEN MERDIAM :
(Memotong ucapan Long) Saya sudah tahu namamu dan maksud tujuan kedatanganmu ke sini! Cepat ceritakan di mana Tab dan kawan-kawannya berada!

70. LONG :
Sebelum saya ceritakan di mana markas Tab, saya ceritakan dahulu, kalau kekuatan Tab, sudah mulai lumpuh. Karena dia hanya memiliki satu orang teman saja yang bernama Pieter. Pieter adalah salah seorang separatis yang lolos dari sergapan Pamong beberapa waktu lalu, pada saat mereka ingin memasang bendera Negeri Lancang Merdeka di sejumlah titik yang menjadi sasaran.

71. PRESIDEN MERDIAM :
Bagus! Sekarang kau rasakan separatis! Dan kau tidak akan bisa lagi memasang benderamu di Negara ini! Ha..ha..haa...! Oh ia, di mana Tab dan kawannya sekarang?

(Long membisikkan Presiden Merdiam. Dan Presiden Merdiam menyimak
bisikan Long)

72. PRESIDEN MERDIAM :
Hmm! Baik! Pamong.., kerahkan Pamong yang lain untuk menangkap Tab dan rekannya. Kalian ikut dengan dia untuk menangkapnya. Bawa mereka hidup-hidup. Dan kalau Si Long ini berkhianat, maka tembak saja dia. Mengerti?!

73. PAMONG 1, 2 & 3 :
Baik, Presiden!
(Pamong 1, 2, 3 dan Long keluar untuk menangkap Tab dan Pieter)

LAMPU PADAM

(Lalu, di kediaman target Presiden Merdiam, Tab dan Pieter terkepung oleh Pamong-pamong. Dari luar kediaman Tab, terdengar suara Pamong memberikan peringatan, “Agar Tab dan Pieter menyerah”. Dengan masuk paksa, Pamong-pamong menangkap Tab dan Pieter. Dan membawa ke luar keduanya dari rumah Tab untuk dibawa ke hadapan Presiden Merdiam. Tak lama kemudian datanglah sejumlah Pamong yang membawa 2 tawanannya, Tab dan Pieter, yang sudah terikat tangannya. Presiden Merdiam terlihat duduk di kursi kayu itu sambil menghisap rokoknya)

74. PRESIDEN MERDIAM :
Ha..., ha.., ha...!! Cina mati karena uang, Belanda mati karena pangkat, dan Melayu mati karena angan-angan.(10) Sekarang kau, Tab.., dan kau, Pieter, Si Separatis itu, saat ini sudah patah kedua kakinya, karena kekuatan kalian akan habis pada hari ini juga.

75. TAB :
(Dengan menatap tajam ke arah Presiden Merdiam) Melayu takkan pernah berangan-angan, tetapi dia bermimpi kenyataan oleh kodratnya. Dia tidak akan pernah pantang surut dari perjuangan yang telah tertancapkan. Melayu ingin ditatap sebagai Bangsa yang beradab, bukan sebagai Bangsa yang harus mencair bagai es yang terpanggang api.(11)

76. PIETER :
Kaki kami tidak akan pernah patah, Presiden. Walaupun dia patah, akan ada kaki-kaki anak-anak kami yang akan meneruskan perjuangan pedih ini, Presiden!

77. PRESIDEN MERDIAM :
Saya mengatasnamakan Negeri ini, hanya sekedar mengajak kalian untuk menjadi manusia yang patuh terhadap kedaulatan bangsa. Bukan separatis! Bagaimana?

78. TAB :
Presiden Merdiam, dari pada hidup berputih mata, lebih baik berputih tulang.(12)

79. PRESIDEN MERDIAM :
Berarti tandanya kalian akan sama seperti sahabat-sahabat kalian ini bukan? Kalian lihat! Lihat di hadapan kalian! Sahabat-sahabat kalian telah mati akibat ulahnya sendiri! Berarti kalian ingin menemui roh-roh sahabat kalian di alam baka sana, ha?!
80. PIETER :
Mati sekalipun aku bersedia, asalkan jiwa kami bisa bebas bahagia atas perjuangan kami yang sesat di jalan yang benar ini!

81. TAB :
Nyawa taruhannya aku bersedia, Presiden. Karena aku sudah berjanji dengan kematian untuk mencapai cita-cita rakyat kami. Dan kami rela mati, asalkan Negara ini mencatat sejarah sebagai Bangsa yang gagal untuk membahagiakan Bangsanya sendiri. Lalu sejarah juga mencatat, telah mati pahlawan-pahlawan Negeri Lancang yang ingin memerdekakan dari belenggu!

82. PRESIDEN MERDIAM :
Kau salah, Tab! Sejarah akan mencatat, “Kalau kalian mati secara konyol dan kesia-siaan belaka”. Saya yang mengatasnamakan Negara mau bertanya, “Apa yang membuat keinginan kalian untuk merdeka memisahkan diri dari Negara
tercinta ini?”

83. TAB :
Presiden.., kau pasti tahu situasi Negaramu ini. Negara ini telah carut marut. Ada banyak masyarakat yang masih saja tidak bisa menatap harapan dan cita-cita mereka karena telah putus asa atas nasibnya yang telah terampas kebahagiaannya. Lalu, berbagai pergolakan di berbagai daerah Negara ini setelah merdeka puluhan tahun lalu, sehingga ke hari ini hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih berjalan di jalan yang rusak parah. Munculnya gerakan separatisme yang menginginkan Negerinya merdeka dari bentuk Negara yang utuh, sebagai bukti nyata kacaunya hubungan baik itu. Secara struktural kekuasaan kendati pada era reformasi konsep desentralisasi telah diberlakukan, pada kenyataanya tidak berjalan sesuai dengan harapan, Presiden!

84. PIETER :
Dan ada permasalahan yang menggelitikkan, Presiden. Banyak masyarakatmu yang tidak memakai kolor karena mahalnya kolor bekas di pasaran.

85. PRESIDEN MERDIAM :
Tampaknya, saya tidak harus berlama-lama memutuskan untuk menghukum mati kalian. Karena kalian hanya bisa membuat masalah besar baru dalam persoalan yang banyak saat ini.
(Secara tiba-tiba muncullah Long di suasana mencekam itu. Dengan gayanya yang tenang, bangga, dan puas)

86. LONG :
Betul, Presiden! Segera hukum mati saja mereka. Karena di Negara ini akan dihukum mati apabila berkhianat. Ketika mereka sudah mati, maka yakinlah, Presiden, Negara ini akan aman dari aksi yang ingin merdeka. Ya.., separatisme! Tab.., dan kau, Pieter, sudah sering aku sampaikan, kalau posisi kalian akan berbahaya. Dengan aksi kalian, berarti kalian melawan Presiden, melawan pimpinan Negara.

87. TAB & PIETER :
Cueh!! (Meludah ke arah Long dari beberapa jarak posisi mereka)

88. PRESIDEN MERDIAM :
Pamong! Tutup mata kedua separatis ini. Dan tembak mati mereka sekarang juga!

89. PAMONG 1, 2, DAN 3 :
Baik laksanakan, Presiden!

90. TAB :
Perjuangan ini akan terus ada, Presiden!

91. PIETER :
Kami tidak akan pernah mati, Presiden!

92. TAB & PIETER :
Negeri Lancang Merdeka..! Negeri Lancang Merdeka..! Hidup Negeri Lancang..! Hidup Negeri Lancang..! (Dengan suara lantang)

(Pamong menutup mata Tab dan Pieter, lalu membawa ke tengah ruangan itu dan di sejajarkan untuk ditembak mati. Di hadapan Presiden, Merdiam dan Long, ketiga Pamong itu menembak mati Tab dan Pieter. Dor! Dor!. Dor! Tab dan Pieter tumbang. Mati seketika)

LAMPU PADAM

BABAK III

Pemain :
ANAK KECIL

Property/setting :
1. BENDERA NEGERI LANCANG MERDEKA
2. 1 BUAH KURSI KAYU
3. FOTO TAB, PIETER, AZLAINI, ADANG, PAIJAN, BESERTA BINGKAINYA
4. RADIO

Lokasi : RUANGAN KEDIAMAN TAB

(Di ruangan kediaman Tab, di sela-sela berita siaran radio yang menyiarkan, “Berakhirnya perjuangan Negeri Lancang Merdeka – dengan bukti matinya “otak” perjuangan separatisme,” seorang anak kecil memajang satu persatu foto kelima pahlawan Negeri Lancang di dinding. Setelah memajang kelima foto itu, anak kecil yang perawakannya tenang, mengambil bendera Negeri Lancang Merdeka yang berada di ruangan itu. Lalu, ia berlari kecil mengelilingi ruangan sambil mengibas-ngibaskan bendera yang sudah diikat dengan kayu panjang itu ke atas kepalanya)

93. ANAK KECIL :
Hidup Negeri Lancang..! Hidup Negeri Lancang..! Merdeka Negeri Lancang..! Negeri Lancang Merdeka..!

(Akhirnya setelah anak kecil itu puas mengelilingi ruangan, tetap beryel-yel, keluar ruangan dan menghilang)***

LAMPU PADAM PERLAHAN-LAHAN
-- SEKIAN --
Pekanbaru, ditulis dari tanggal 06 September 2007, 27, 28 Februari 2008, 03, 04, 13, 14, 18, 21 Maret 2008, 19 Juni 2008, pukul 00.31 WIB s/d 03.35 WIB. 28 Juni 2008, 15.03 s/d 15.35 WIB. 13 September 2008, 10.54 s/d 11.40 WIB.

Catatan peribahasa yang digunakan sesuai dengan urutan :

1. Kesusahan yang bertimpa-timpa datangnya.
2. Hati yang hancur luluh karena menderita kesedihan.
3. Hal seseorang yang sangat menyusahkan dirinya, karena hendak bercita-cita yang berlebihan.
4. Menurut pertimbangan dapat dapat dikerjakan, tetapi banyak halangan untuk melaksanakan.
5. Pekerjaan yang tanpa hasil.
6. Sesuatu yang terlanjur, susah memperbaikinya kembali.
7. Jangan gentar melawan seseorang yang keadaanya sebanding/sepadan dengan kita.
8. Ada yang baik, tetapi mau yang buruk juga.
9. Seorang yang sangat sombong karena pangkat kekuasaan, atau karena kekayaan yang baru diperolehnya.
10. Mitos/kebiasaan: Bangsa Cina selalu berusaha mengumpulkan uang. Belanda mencari pangkat yang tinggi. Dan Bangsa Melayu selalu berangan-angan akan mendapat sesuatu sehingga kadang-kadang mereka teraniaya karena amat tinggi cita-citanya.
11. Tidak akan menyerah walaupun kekuatan lawan lebih besar.
12. Pindah dari sesuatu tempat ke tempat yang lain yang sama buruknya.

***
Selengkapnya...

Cerpen-cerpen Karya Parlindungan


Presiden Kehilangan Negara

Pak Presiden! Negara Bapak akan digusur. Katanya, wilayah Bapak akan dijadikan kawasan wisata, tempat ibadah, dan pusat pengembangan budaya Melayu oleh Negara tetangga. Bagaimana tanggapan Bapak? Kata seorang wartawan kepada Presiden Pelacur, Damha Ide. Dan Presiden pun terdiam. Terperangah. “Masa ia?” Hanya kata itu yang ia jawab. Akhirnya ia meninggalkan wartawan itu tanpa pamit menuju mobilnya yang sudah lama parkir di laman kantor The Malay Arts Council.

Melihat alis naik serta kening Damha Ide berkerut, paras wajah wartawan itu pun ikut berubah. Sambil menaikkan kedua bahunya, wartawan pergi tanpa pesan. Akhirnya, keduanya hilang dari pandanganku. Yang satu dari sisi kiriku dan sisi kananku adalah Damha Ide.

Selang satu hari, aku membaca koran terkemuka di kota tempat aku lahir ini. Lokalisasi Teleju akan digusur. Ratusan pelacur yang ada di lokalisasi tersebut akan dipulangkan dan sebahagiannya lagi akan diberikan pelatihan supaya tidak melacurkan diri lagi. Penggusuran ini dilakukan, terkait keberadaan lokalisasi Teleju sudah cukup meresahkan warga serta akibat banyak tuntutan berbagai kalangan agar lokalisasi Teleju segera ditutup.

Itu sekelumit kalimat yang ada dalam koran itu. Kalaulah dibaca hingga tuntas, prinsipnya, Teleju segera ditutup 2010 ini juga. Hal ini dibuktikan, kalau pemerintah setempat telah menyiapkan anggaran untuk mengganti rugi lahan serta memulangkan dan memberikan pelatihan bagi pelacur-pelacur di sana.

Damha Ide ternyata juga sudah membaca surat kabar itu. Dia pun berinisiatif menyelenggarakan temu pers. Klarifikasi, kalau Negaranya jangan sampai digusur. Dia memerintahkan aku untuk mengundang semua wartawan dari berbagai media cetak, elektronik, dan media online. Karena aku adalah staf administrasi Kepresidenan, aku menyegerakan memberi informasi kepada wartawan-wartawan, kalau hari ini Presiden Pelacur menggelar jumpa pers di Sekretariat Presiden The Malay Arts Council, kantor Damha Ide, tapi bukan kantor Presiden Pelacur.

Seperti layaknya presiden-presiden bangsa besar lainnya di muka bumi ini, Presiden Pelacur ini juga berlagak seperti itu. Hanya sebuah meja pidato setinggi perutnya. Tanpa mic, ia menjelaskan tetang rencana pemerintah tetangganya yang akan menggusur Negaranya yang sudah lama ia pimpin.

“Saudara-saudara wartawan sekalian. Terkait atas rencana Negara tetangga yang akan menggusur Negara saya, ini sebagai tanda akan ada perperangan. Karena, ada Negara lain yang berusaha mengganggu ketentraman bangsa saya. Makanya, saya menggelar jumpa pers hari ini, kalau saya ingin menyatakan, saya selaku Presiden Pelacur menolak keras atas rencana itu.

Bila rencana itu tetap saja bergulir, maka, saya akan kerahkan masyarakat saya untuk aksi turun ke jalan sambil menjajalkan apa-apa saja yang mereka jajalkan setiap harinya,” kata Damha Ide sambil sesekali menatap kiri dan kanan ke arah wartawan.

Sebelum dia mengakhiri pembicaraanya, Damha Ide berpesan. “Bantu Negara saya,” pintanya sambil berlalu meninggalkan meja pidatonya.
“Pak Presiden, bagaimana kalau penggusuran ini tetap berlangsung?” kata seorang wartawan menyeletuk.

Presiden pun tak menjawab. Dia tetap pergi meninggalkan puluhan wartawan di ruangan itu. Suasana berbisik-bisik memadati ruangan. Dan akhirnya wartawan bubar dengan sendirinya.

***
Keesokan harinya, media massa, baik media cetak, elektronik, maupun online tetap memuat, kalau lokalisasi Teleju tetap digusur dan dibebaskan kawasan itu dari praktek prostitusi. Ketekatan itu sudah kuat, karena sudah bergulir sejak beberapa tahun sebelumnya. Ditambah lagi, di 2010 ini, pemerintah tetangga telah menganggarkan dananya untuk pengganti-rugi lahan lokalisasi Teleju.

Damha Ide marah besar. Di ruangannya, aku perhatikan persis dia membanting bingkai dan foto di mejanya. Gambar foto itu sewaktu ia bersama ratusan pelacur seusai upacara kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2008 di Negaranya, Teleju.
“Negaraku! Oh.. Negaraku…!” teriakan itu memecah sepinya di ruang kerjanya.

Aku yang tengah duduk di meja kerjaku pun beranjak ke arah kepingan kaca bingkai foto. Mengutip satu per satu pecahan kaca. Kukumpulkan dalam tong sampah. Sambil mengutip, sekali-kali aku menatap wajahnya. Tanpa sepengetahuan, matanya yang tengah terpejam kulihat setetes air mata jatuh ke pipi dari mata sebelah kirinya.

“Patutlah, kalau dalam beberapa hari ini, kelopak mata kiriku selalu berkedip-kedip sendiri. Ini sebagai tanda, aku mau menangis. Betul adanya,” sambil terisak dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Sambil membawa tong sampah, aku melangkah ke luar ruangan. “Par!” panggil Presiden.
“Saya, Pak Presiden,” jawabku sambil cepat berbalik ke arah duduknya.
“Hmm... Tak jadilah. Jangan kau buang foto yang kucampakkan tadi,” katanya sambil ia membuka laptopnya. “Baik, Pak Presiden,” jawabku singkat.

Tak lama setelah itu, aku kembali ke meja kerjaku. Dan aku menyaksikan ia mengetik di laptopnya. Aku tak tahu persis apa sebenarnya yang ia ketik. Kutahu, ia memang hobi menulis puisi, cerpen, ataupun artikel. Dia juga dikenal sebagai seniman. Kenapa tidak. Sebab itulah ia dinobatkan sebagai Ketua The Malay Arts Council.

Beberapa puluh menit aku juga tak bisa berbuat banyak di ruangan itu. Diam. Mencekam. Sedikit ada rasa takut. Cuma aku sedikit terhibur, karena di laptop Pak Presiden menyalakan lagu-lagu jazz Melayu. “Par!” aku terkejut karena Pak Presiden memanggil aku.

“Saya, Pak Presiden,” berdiri persis di depannya seraya kedua telapak tanganku saling menggenggam di hadapan sleting celanaku. “Kau antarkan surat ini ke Kantor Pos sekarang juga. Setelah itu, kau boleh pulang. Dan datang lagi seperti biasa esok hari,” pintanya.

Tanpa harus bertanya, tentang isi surat ini, aku langsung beranjak ke luar ruangan yang telah membuat aku kaku dalam beberapa puluh menit. Aku pergi ke Kantor Pos dan melaksanakan perintah Pak Presiden.

***

Beberapa hari setelah itu. Ada suasana yang berbeda dari hari-hari biasanya. Pak Presiden yang tanpa ada pengawal khusus itu, setiap pagi datang lebih dulu dariku. Biasanya pukul 10.00 WIB atau 11.00 WIB. Tapi dalam beberapa hari ini, aku melihat pukul 07.30 WIB Bapak selalu on time. Nonton teve, baca koran, buka internet, dan merokok. Itu saja setiap harinya kulihat dalam beberapa hari ini.

Saat aku masuk kerja pagi Senin. Belum lagi aku duduk di kursi kerjaku, aku sudah ditodong pertanyaan Pak Presiden. “Ada surat masuk untuk saya, Par?” tanyanya. “Tidak ada, Pak Presiden!” jawabku singkat.

“Satu pun surat tak ada buatku dalam beberapa hari ini?” mempertegas kembali pertanyaanya. “Tidak ada satu pun, Pak Presiden,” jawabku kembali.

Sambil ia menggeleng-gelengkan kepalanya, hanya beberapa detik aku berdiri, langsung aku duduk ke kursi kerjaku. Tak lama setelah itu, aku mendengar petugas antar surat alias tukang pos mengetuk pintu ruang kerja kami. “Pos! Pos! Ada surat!” teriakan tukang pos dari luar ruangan.

Aku mengambil surat itu setelah aku menandatangani surat serah terima dari tukang pos. Aku masuk ke ruangan. Aku baca surat ini untuk Pak Presiden. Dan sekilas aku baca pula si pengirim surat ini dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia.

“Pak Presiden. Ini ada surat dari Komnas HAM,” Presiden Pelacur mengambil surat itu dan dengan gegas ia membuka serta membacanya.

Tak lama kemudian, Pak Presiden kembali aku melihatnya marah besar. Mengoyak-ngoyak kertas yang ia terima. Kasar. Mukanya merah. Aku takut. “Sama saja semuanya! Tak adil! Tak Bijaksana!,” marah sejadi-jadinya.

Aku hanya bisa menatapnya dan satu dua kali tertunduk. Dan lalu menatapnya. Ada rasa kasihan. Karena, aku tahu betul Pak Presiden. Sebab, aku sudah hampir 10 tahun ikut bekerja dengannya.

Baru sekali ini aku melihat Pak Presiden marah besar. Macam tak ada tujuan. Kehilangan kendali. Dia panik. Dan terduduk di kursi singgasananya. Dia diam kaku sambil meletakkan kedua tangannya di keningnya.

Aku tak tahu persis apa yang menyebabkan ia semarah ini. Aku memberanikan diri mengambil sobekan-sobekan kertas itu. Karena aku tahu, secarik kertas itulah yang mengakibatkan dia marah besar. Seperti aku mengutip puing-puing kaca yang ia pecahkan beberapa hari lalu, perlahan-lahan aku menyatukan robekan kertas itu. Lalu aku membacanya.

Menindaklanjuti surat permohonan saudara tentang keinginan adanya pembelaan untuk demi rasa keadilan terhadap mempertahankan keberadaan Negara Teleju sebagai lokalisasi, bersama surat ini kami menolak atas permohonan saudara karena Negara Teleju bukanlah sebuah Negara yang patut diperjuangkan untuk dibela.

Itu sekelumit isi suratnya. Masih sebatas persoalan dirinya dengan Negara tetangganya yang berusaha untuk menggusur lokalisasi Teleju, sebagai sebuah Negara yang dianggap Pak Presiden Pelacur, Damha Ide itu adalah wilayah hukumnya. Sebuah Negara yang patut diperjuangkan hak azasi para pelacur. Memang, satu sisi benar, dan satu sisi tak masuk akal.

Damha Ide yang kuanggap Presiden Pelacur ini pergi ke luar ruangan dengan cepat. “Pak Presiden!” aku memanggilnya, tapi tak dihiraukan.
Aku mengikutinya juga dengan cepat. Saat Presiden membuka pintu, sudah ada puluhan wartawan menantinya sambil menyodorkan tape recorder, mic kamera, dan pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi.

Pak Presiden melaluinya begitu saja. Dia tetap dikejar wartawan. Sehingga ada satu pertanyaan wartawan yang membuat dia berhenti sejenak.
“Teleju akhirnya digusur semalam, Pak. Bagaimana tanggapan Bapak?” tanya salah seorang wartawan.

“Dalam sejarah dunia, baru kali ini Presiden yang tak memiliki Negara. Walaupun demikian, aku tetap memegang tahta ini. Biarlah sejarah yang mencatat waktu ini,” jawabnya padat.

“Lalu, bagaimana dengan rencana Bapak tentang akan ada aksi kerahkan masyarakat Teleju untuk turun ke jalan sambil menjajalkan apa-apa saja yang mereka jajalkan setiap harinya, Pak?” tanya lagi seorang wartawan. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Lalu melaju hingga hilang dari pandangan. “Selamat jalan, Presiden Pelacur,” secara serentak, puluhan wartawan itu menyampaikan pesannya.***


Pekanbaru, 21 Juni 2010, 16 | 05 WIB

Penulis adalah :
Parlindungan
Pendiri dan Pembina Sanggar Lisendra Dua Terbilang
Universitas Islam Riau
Saat ini sebagai Chief Editor Situs Berita www.RiauBisnis.com
Email : paral80@yahoo.com


Mencari Menantu
Oleh : Parlindungan

Nurhayati sudah lama mendambakan untuk segera menikah. Dengan usianya yang sudah memasuki kepala tiga, adalah umur yang tidak muda bagi seorang perempuan yang belum juga menikah. Di kampungnya dengan usianya itu, tentu menjadi bahan cerita panjang warga, dan bahkan berimbas menjadi sindiran warga terhadap dirinya. Padahal di kampung Nurhayati, orang-orang tua di sana masih kerap sekali menjodohkan anaknya yang belum juga kunjung mendapatkan pasangan hidup.

Kebiasaan itulah yang menjadi tradisi di Kampung Dalam tempat kelahiran Nurhayati 37 tahun silam. Yang ironisnya lagi, tradisi di kampung itu apabila hendak menikahkan anak perempuannya, lelaki pilihan orang tua atau pilihan si anak perempuan wajib dibeli (bukan istilah sebenarnya) dengan harga yang bervariasi. Tergantung dari kedudukannya, titel, kemapamannya, dan juga melihat pekerjan si pria.

Apabila jodohnya adalah seorang kuli bangunan, tentu harganya tidak sama dengan pria yang memiliki profesi seorang pengacara. Lalu, begitu juga dengan seorang polisi berbeda harganya dengan pria berprofesi dokter. Dan harga seorang pria tamatan strata 1, sangat berbeda sekali harganya dengan pria yang memiliki latar belakang pendidikan strata 2, ataupun strata 3 – tentu harganya jauh lebih mahal – bisa mencapai puluhan juta bagi strata 1, dan bisa pula ratusan juta rupiah bagi laki-laki yang memiliki pendidikan strata 3.

Harga teredah, tentu pria yang tidak mengemban pendidikan tinggi, pekerjaan yang penghasilan cukup untuk makan, dan tentu dari keluarga yang biasa-biasa pula. Aneh memang.

Tidak tanggung-tanggung. Tetapi itu merupakan kebudayaan dan tradisi lama yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. Banyak pula yang beranggapan, kalau kebudayaan dan tradisi lama tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tetapi karena sudah ada sejak nenek moyang mereka, ajaran agama pun bisa tidak dijadikan patokan.

Nurhayati kerap terperanga. Kenapa sulit menemukan jodoh. Tanda tanya itu yang membumbui kerisauan hatinya. Ada pada dirinya, sementara teman-temanya di kampung sudah pada menikah semua. Bahkan ada temannya yang sudah memiliki cucu. Tetapi tidak itu yang menjadi acuan Nurhayati agar segera menemukan jodoh, melainkan tetap mempertahankan pada pertanyaanya “Kenapa belum menemukan jodoh?”. Apalagi Nurhayati tidak pernah sama sekali berpacaran selama hidupnya.

Sehingga pada suatu hari, sebelum mewujudkan niatnya untuk pulang kampung, Nurhayati sempat menghidangkan makanan di rumah makan tempat Nurhayati bekerja. Nurhayati mengamati, kalau pria itu menaruh hati padanya. Bukti itu terlihat, ketika semenjak pria itu duduk setelah memesan makanan, pria itu selalu memperhatikan dirinya, dan Nurhayati pun sempat curi-curi pandang ke pria itu.

Nurhyati sempat bertanya dalam hatinya: “Apakah ada yang aneh pada diriku? Atau dia menyukaiku? Tapi tidak mungkinlah, mana ada laki-laki yang mau pada diriku yang usiaku sudah kepala tiga. Hampir Empat lagi!”

Kuat dugaan Nurhayati kalau pria itu menyukainya, ketika pria itu menggenggam tangan Nurhyati pada saat sepiring nasi beserta lauk untuk pria itu terhidangkan ke meja laki-laki yang memiliki tampang suram, berambut gondrong, berkumis, jenggotan lebat, bau, lusuh, urak-urakan, dan kumuh. “Jam berapa kamu pulang dik? Aku tunggu kau ya. Biar nanti ku antar kau pulang wangiku!”

Karena perkataan itu adalah yang pertama kalinya Nurhayati terima dari seorang laki-laki, Nurhayatipun sulit menolaknya, dan menerima tawaran terindah itu baginya.

Pukul 22.00 Wib, adalah waktu pulang Nurhayati dari pekerjaannya. Tanpa disadarinya, laki-laki yang belum diketahui namanya itu sudah ada di hadapan Nurhayati, ketika keluar satu langkah dari pintu masuk rumah makan.

Disela-sela perjalanan mereka, ketahuanlah nama pria itu Yusril. Dan yang menariknya lagi, ternyata mereka satu kampung. Dan secara kebetulan, mereka sama-sama ada rencana akan pulang kampung. Nurhayati makin semangat melayani obrolan antara mereka berdua, ketika pengakuan Yusril, kalau dirinya adalah pria bujangan yang sudah lama hidup sendiri tanpa seorang perempuan mendampinginya.

Usia Yusril ternyata lima tahun lebih tua dari Nurhayati. Ternyata selama ini mereka sama-sama merasakan penderitaan tidak menemukan jodoh. Dan sama-sama menderita, akibat angan-angan dari sebuah pernikahan.

Tanpa harus berfikir panjang, merekapun menjalin hubungan emosional yang erat. Mereka berpacaran. Dan memiliki cita-cita agar tidak terlalu lama berpacaran, dan berharap agar mengakhiri masa lajang mereka untuk segera menyatukan antara dua keluarga.

Nurhyati bangga dengan Yusril. Selain dirinya baik, juga memiliki latar belakang pendidikan strata 2. Walaupun antara gelarnya tidak sesuai dengan bentuk fisiknya yang urak-urakan, bau, lusuh, gondrong, berkumis lebat, dan berjenggotan tersebut. Tidak menjadi persoalan yang begitu signifikan bagi Nurhayati. Dan Nurhayati yakin keluarganya pasti senang dengan pertemuan itu nantinya.

***

Tiba kesepakatan untuk sama-sama pulang ke kampung mereka, tentu menjadi moment penting dan tidak sembarangan bagi Nurhayati, terlebih lagi bagi Yusril untuk diperkenalkan kepada kedua orang tua Nurhayati.

Tanpa menjadi percakapan yang panjang antara kedua orangtua Yusril dan orang tua Nurhayati untuk menceritakan siapa sebenarnya Yusril dan siapa sebenarnya Nurhayati, kedua belah pihak sama-sama sepakat untuk menyatukan hubungan saudara khusus.

Perundingan tradisi kampung itu untuk membeli sang calon pengantin pria sebelum pernikahan berlangsung, menjadi perbincangan yang sangat alot antara kedua belah pihak. Yang menjadi kewalahan ada di pihak keluarga Nurhayati. Mereka merasa bingung untuk membeli Yusril yang memiliki latar belakang pendidikan strata 2 itu. Bahkan untuk menentukan masalah harga sekalipun, mereka sempat memanggil tokoh-tokoh pemuka masyarakat dan tokoh adat untuk membahasnya.

Keputusan diambil dari berbagai pengkajian, mengingat dan menimbang oleh tokoh masyarakat dan tokoh adat di kampung itu. Ternyata Yusril hanya dihargai sebesar Rp750 ribu saja. Pihak keluarga Yusril terkejut atas keputusan itu. Aneh, strata 2 dihargai Rp750 ribu.

“Mana mungkin anak saya yang sekolahnya sampai strata 2 hanya dihargai 750 ribu rupiah saja! Sementara kami menyekolahkan Yusril hingga mendapat gelar master bisa mencapai puluhan juta rupiah. Mana mungkin dibalas dengan harga ratusan ribu! Kami tidak terima!” emosi ibu Yusril. Dan Yusril beserta bapaknya hanya mampu berdiam dan menenangkan ibunya yang telah hilang kesadaran.
“Malangnya nasibmu nak! Enggan lalu atah jatuh, anak raja mati ditimpanya,”* emosi yang terendam sehingga mencerca dengan peribahasa itu.

Dengan rasa kesabaran yang tinggi, orangtua laki-laki Nurhayati pun menjelaskan hal ikhwalnya kenapa Yusril dihargai Rp750 ribu. “Kami tahu perasaan ibu, bapak, dan nak Yusril. Dan kami tahu sudah banyak uang yang ibu keluarkan, agar Yusril bisa mendapatkan gelar sarjana apalagi hingga strata 2. Tetapi ini adalah keputusannya! Di Kampung Dalam ini, untuk seniman seperti Yusril yang memiliki gelar strata 2 dihargai Rp750 ribu. Sebenarnya harga seniman strata 2 hanya dihargai Rp500 ribu.

Karena kita punya niat baik aja, sehingga kami mau membeli 750 ribu rupiah!” jawaban itu yang dilontarkan orangtua laki-laki Nurhayati untuk menenangkan situasi yang tidak kondusif itu.

“Kalau tahu segitu harga seorang seniman, lebih baik anakku tidak disekolahkan sampai sarjana. Lebih baik dia bekerja sebagai kuli bangunan saja!” sindir ibu Yusril sambil menangis tersedu-sedu.

***

Akhirnya Yusril dan Nurhayati tetap menikah, dan mereka tidak mempersoalkan harga seorang laki-laki dengan rupiah, melainkan atas dasar kesucian hati untuk rasa saling memiliki, suka sama suka, dan asalkan bahagia.

***

“Ternyata yang gratis-gratis enak juga ya bang?” ungkap Nurhayati lugu sambil mengusap keringat yang ada di keningnya pada tengah malam pertama mereka. ***

Pekanbaru, 16, 17, 20,21 Mei, 19 Desember 2006

* enggan lalu atah jatuh, anak raja mati ditimpanya
(orang yang tidak bersalah, dituduh melakukan kejahatan, karena kebetulan berada di tempat itu)


Penulis adalah:

Parlindungan
Kelahiran Pekanbaru, 31 Agustus 1980
Tinggal di Kota Pekanbaru
Alumni Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR)
Telah menerbitkan kumpulan sajak antologi tunggalnya berjudul “Tak-Kan” (YPR, 2004) dan kumpulan puisi antologi bersama “Belantara Kata” (SWA- UIR Press 2004). Kemudian kumpulan puisi antologi bersama berjudul Berkata Kita, Unri Press, 2008
Saat ini sebagai Chief Editor Situs Berita www.riaubisnis.com
Juga sebagai Pembina Sanggar Seni Lisendra Dua Terbilang UIR
e-mail : parlindunganriau@gmail.com
Selengkapnya...

Puisi-puisi Karya Parlindungan


PUISI 2005
Matikan Aku Dengan Cinta

Cinta…
Ragaku sudah diterpa kesunyian oleh angin lalu
Aku masih tetap menunggu datangnya ungkapan kasih itu
Setiap Ahad aku selalu bertanya: "Sudah Ahad keberapa kali ini?"
Padahal setiap Ahad aku selalu menanti kata cinta ke batin

Lekukan daun-daun yang menjulur ke tanah
Sudah layu karena cahaya matahari sudah tidak lagi terarah
Sayupan angin harapan bukan lagi aku inginkan
Karena cinta dahulu yang aku temukan kini menjadi kenangan

Aku masih ingat ketika cinta bukan lagi harus aku miliki
Padahal sudah menjadi pikun aku pikiri
Menjadi lalu cinta itu, dan tak pernah kembali

Cinta…
Senangkan aku dengan cinta
Satukan aku yang hina ini ke paras wajah agama
Pelukkan aku dengan jiwa-jiwa rupa

Terangkan hidup yang gundah menjadi hidup seperti seni
Percikan aku dengan air dari mata air sijorni dari kampungku
Carikan aku bunga indah tak berbiji
Di dahan cinta dahulu

Cinta…
Gayuhkan labuan cinta ke desa yang bukan desa hampa
Hidupkan aku dengan air mata bahagia
Lalu… tolong matikan aku dengan cinta

Pekanbaru gundah, 23 November 2004


Satupun Tak Aku Miliki

Cinta dahulu,
Kemana cinta dahulu yang penuh harapan dan penuh pujaan
Setetes pun aku tak miliki

Cinta dahulu,
Sudah jauh aku melangkah mencari cinta
sambil memijak bara-bara merah ke kutup utara
Sebijik pun tak aku miliki

Cinta dahulu,
Menyayat kalbu yang luluh oleh pelasah genggaman
Senapas pun susah aku miliki

Cinta dahulu,
Mampu aku gali diratapan kesunyian yang gelap
Demi impian yang diabadikan
Seabadi pun tak mampu aku miliki

Cinta dahulu,
Tidak mampu aku temukan di keramaian orang yang sedang mencari
Satu pun tak kuasa aku miliki

Pantaskah aku memiliki?
Atau aku tetap saja mencari orang yang mampu memiliki aku!
Pasti, satupun tak aku miliki

Pekanbaru, 23 November 2004


Sujudku Kehadapan-Mu
(Dibaca Pada Saat Pasar Seni DKR Bersama Husnu Abadi Tanggal 30 Juli 2005)

I
Sujudku kehadapan-Mu,
Aku menangis sambil menertawakan dosaku setahun lalu,
Bukan kuharap dosa itu singgah
Hanya saja kesunyian diri yang mampu raungi kekosongan hati
Untuk jadikan diri singgahkan dosa dunia itu

Aku harus terima itu,
Dosa dunia yang kumiliki
Akan aku terima kado durjana
Di saat nanti semua manusia yang hidup,
Lalu, sekarang dan yang hidup akan datang
Bersua ditempat belum pernah terbayang

Betapa buruknya ciptaan Tuhan pada saat itu
Mereka, aku dan dia, telanjang,
Kepanasan, merintih dan menangis
Untuk menerima giliran itu

Sujudku kehadapan-Mu,
Aku sadari itu Tuhan…
Aku kalahkan ungkapan-Mu
Demi satu makna…, ya…kau dunia!
Hanya kudapat bagian kecil dari ciptaan-Mu
Lalu tak pernah ku terima
Bagian kecil harapan Nabi-nabi-Mu

Tuhan…,
Sujudku kehadapan-Mu
Hanya menangis, meminta keajaiban diri-Mu
Untuk mampu maafkan aku,
Untuk mampu hapus dosaku,
Untuk mampu kembalikan aku seperti bayi dahulu
Dan untuk mampu aku kembali sujud kepada-Mu

Sujudku kehadapan-Mu, Tuhan…
Satu itu saja yang aku sulit ratapi
Ya…, dosa!

II
Dulu aku sempat berpikir
Apakah ada dosa itu kediri yang bukan Kau cipta
Berikan aku ampunan-Mu Tuhan…
Aku janjikan pada diri ini
Satu kata yang kutangisi tiap di malam-Mu
Ampun…, taubat, ampunkan dosaku,
Aku bertaubat Tuhanku!
Aku bertaubat!

Sujudku kehadapan-Mu Tuhan…
Aku ulangi makna dahulu di tahun ini
Satu yang sulit aku arungi buat-Mu Tuhan…
Kata nashuha, kata sebenarnya minta ampun
Aku bertaubat…
Aku bertaubat untuk satu harapan cerahnya mata hati
Untuk kembali beningkan jiwa durja
Untuk satukan pelupuk mata dengan kening ke tanah
Dengan hati ke jiwa-Mu,
Dengan punggung terpatah ruku’ untuk-Mu Tuhan!
Aku bertaubat…

III
Semenjak tahun ini akan mulai bertukar
Aku terus mampukan diri
Untuk sujudku kehadapan-Mu…
Kalau Kau tak mau terima ketulusan ini
Murka sudah harapanku
Untuk menjadi seorang manusia
Ya.. sebenar-benarnya manusia
Yang diharapkan Nabi-Mu dahulu
Aku merugi itu…

Kemana lagi aku harus meneteskan air mata taubat Tuhan
Apabila aku bukan lagi menempatkan diri yang taubat
Kecuali kehadapan-Mu Tuhan
Aku akui…,
aku adalah orang yang merugi untuk itu
Taubatku harapanku kelak
Untuk mendapatkan surga yang ada dicipta-Mu

Sujudku kehadapan-Mu
Tuhan…!

1 Syawal 1425 Hijriah, 14 November 2004


Aku Merindukan-Mu

Perjalanan yang aku telusuri
Kujajaki pipa-pipa hitam
Yang selalu diterpa hujan dan panas
Aku bayangi diri-Mu
Dan kau ada diantara belahan perjalananku
Hanya kedipan mata-Mu
Yang mampu segera menibakan perjalananku

Mengingatkan Kau,
Berarti aku harus mampu kembali genggam tangan-Mu

Sudah jelajahi perjalanan itu
Rasanya sulit untuk sampai
Ketika aku masih saja merasa kehilangan-Mu
Sudah kuingatkan keberadanku di kota sejarah
Ternyata kesejarahan itu
Tak mampu mengalahkan aku kehilangan-Mu sekejap penantian

Tiupan angin malam terasa dingin
Apabila hati terpanggang sucikan kembali pertemuan

Sudah lupakan kota sejarah itu
Hanya jayakan sejarah aku dan diri-Mu
Di pelataran indah
Yang selalu kita ukir setiap senja hingga akhir malam
Rinduku bukan lagi senyapnya keheningan habis malam
Tapi rinduku adalah kembalinya keriangan siang
Yang baru saja habis dari malam itu

Aku segerakan pertemuan kembali
Demi menjenguk kedipan matamu yang merayu

Siak, 18 Desember 2004


Ibu Itu : Hanya itu yang Didapatinya
Dimuat pada SKH Riau Mandiri, Ahad, 30 April 2006

Sendal jepit yang selalu kau bawa
Telah berhasil cakarkan aspal yang melepuh akibat teriknya matahari
Tidak setimpal dari jerihmu untuk resapkan setitik khayalan

Enkau telah berhasil menyeret sepeda tua
Yang dibelakangnya tergonceng jajalan
Yang akan kau bawa ke anjungan
Hanya segantang terjual
Untuk kembali rasakan setitik khayalan itu

Sayangnya…
Keringatmu hanya terperas lalu menetes di lubang bajumu
Dan lalu kering terbawa oleh angin siang
Tercampur panasnya tepian air

Ibu itu sedikit pun tanpa meronta keberadaanya
Lalu dirinya hanya berharap
Agar bisa bertemu dengan siang itu
Supaya kembali jajalkan jualannya
Keanjungan terik keramaian

Ibu itu…
Hanya itu yang ditemuinya…

Siak, 19 Desember 2004


Di Hari-Mu Ibu…

Cinta yang kuberi sepenuh kepedulianku
Tak menjadi ombak yang dapat menghantam pasir-pasir tersusun
Yang lalu tergeret kelaut
Dan lalu kembali menyeret pasir itu setiap harinya
Keindahan jiwa-Mu bagaikan banyaknya pasir itu
Yang tak’kan perah habis walaupun hanya penuhi keinginan lautan
Perjalanan-Mu, kecintaan-Mu adalah kemudi yang terarah
Ibu…
Irisan pisau-pisau yang bermata
Terkalahkan oleh keagungan-Mu
Dan pisau-pisau itu hanya ada di silat kata-Mu
Menjadi tauladan yang agung
Dan menjadi manusia yang sempurna

Pekanbaru, 05 Januari 2005


Percintaan Yang Berakhir Penderitaan

Pada hari Sabtu 08 Januari 2005
Di tempat aku menari kebahagian
Yang kudampingi kesedihan
Di tempat itu aku menangis
Sambil menatap huruf O dan K pada komputer di hadapanku
Menyesali kalau aku sudah bercinta dengan-Nya

Tuhan aku benci Kau
Kalau Kau menciptakan rasa kesedihan pada diri ini
Aku tak sanggup….
Aku pinta kesedihan itu diberi pada saat aku bukan lagi bernyawa

Hidupkan cinta yang abadi bagi diri-Nya
Aku sayang Dia…
Aku tak-kan pernah lupakan dia…
Walau aku sudah dimiliki orang
Kebahagian aku juga bahagian sekelumit cintaku pada-Nya

Aku harap cintaku setengahnya untuk Dia
Dan setengahnya adalah cintaku kepada hati
Yang gundah pada saat itu

Aku tak-kan pernah lupakan kenangan itu…
Aku ingat tangis-Nya…
Yang tidur dipundakku
Sambil katakan; "Aku tak-kan pernah benci sama diri kamu sayang…
Aku akan ingat selalu kamu sayang…?"

Aku hanya mampu menangis
Dan berkata dalam hati; "Aku tetap menyanyangi-Mu
Aku ingin selalu bersama-Mu…
Walau aku sudah dimiliki orang yang bukan Kau kehendaki
Maafkan aku Sayang…"

Pekanbaru, 08 Januari 2005


Di Antara Jilbab dan Impian-Mu
(Dibaca Pada Saat Pasar Seni DKR Bersama Husnu Abadi Tanggal 30 Juli 2005)

Putih…
Selalu menandakan kesucian
Lalu…
Tak selamanya hitam menandakan ketakaburan

Putih juga dilambangkan ada di hati dan jiwa-Mu
Bukan selain putih dan kesucian
Tapi juga kewangian yang selalu mengaroma

Kesucian sudah mulai tercipta
Pada saat kesucian hati dan jiwa-Mu
Genap dengan jilbab yang ada di ribuan roma-roma di kepala-MU

Putih.. selalu menandakan kesucian
Lalu..tak selamanya hitam menandakan ketakaburan

Kini kesucian itu sudah aku ratap setiap detiknya
Bahkan jilbab-Nya sama tegak dengan sujud-Nya mengaggungkan…

Jilbab yang mengena-Nya
Mampu pecahkan batu-batu alam
Yang terendam ratusan tahun lalu di kerak bumi
Untuk wujudkan setitik impia-Nya

Impia-Nya adalah sebuah ketulusan
Tegakkan sunnah Rasul bukan karena rayuan-rayuan belaka

Aku masih ingat jilbab yang merona
Kadang Ia mampu merobah mata angin kesebelah mata air
Bukan air lautan dan bukan air sungai dan danau
Tapi…
Air mata….air mata dosa…

Diri-Nya sempat menangis
Karena dulu jilbab itu jauh dari jati-Nya
Kini jilbab itu kembali menangisi diri-Nya
Karena jilbab itu kembali mengenang impian-Nya

Dia terus menatap jilbab itu :
“Apa keistimewaan darinya, bukankah jilbab itu jauhi dirinya”

Sempat menerawang kalau jilbab-Nya kelak bukan lagi ada di miliki
Berbulan-bulan sudah…
Dirinya ditemani oleh keriangan wangi dan kesucian
Sudah berbulan-bulan jilbab-Mu
Mengkerudungi roma-roma kepala, hati dan kejiwaan-Mu

Itulah jilbab dari-Mu
Seiring dengan impian suci-Mu…

Pekanbaru, 15 Juli 2005


Maaf Bila Aku Memilihnya

Maaf bila aku memilihnya,
Karena aku tak pernah menganggap kalau Kau adalah pendampingku
dalam hidup duaku
Aku yakin dirimu juga tetap yang terbaik
Karen aku bisa belajar mencintai seseorang
Dari tingkah mu yang tertanam dari lubuk kerinduan silam

Maaf bila aku memilihnya,
Pujaan mu tetap menjadi kenang
Sayupnya lorong-lorong kelam
Pada saat Indonesia bagian barat berduka
Dan Kau lebih terluka pada hari itu

Maaf bila aku memilihnya,
Sudahlah,
Aku berjanji kalau kau juga pernah terkenang dibagian jiwaku
Dan Kau orang yang sudah aku sanjung
Diantara hawa yang ada

Maaf bila aku mencintainya,
Aku berani mencintainya
Karena ketulusan diri mu
Untuk menerima aku memilihnya

Aku tak’kan pernah melupakan ketulusan
Dan kebesaran jiwa sayatan hati mu
Karena menerima aku untuk segantang bercinta
Dengan wanita yang tak pernah diri mu duga

Kupersembahkan sujud maaf
Diujung kaki mu yang memijak kebahagian kita dulu
Aku hanya mampu berharap kalau Kau
Tetap ingat dari kehidupanku
Diantara kepedihan pada saat itu

Maaf bila aku memilihnya…


Pekanbaru, 09 Januari 2005


Ungkapkan Cinta Kediri Ini

Pernah dulu rupawan kuharap untuk dimiliki
Kini sudah luluh bukan lagi rupawan yang harus dimiliki
Semenjak kenangan itu, aku bukan lagi laki-laki yang diingini

Aku hanya berharap ada rupawan kediri ini
Yang mampu mengerti,
Mampu bercinta,
Mampu bertahan lama,
Mampu mencahayakan,
Mampu memiliki,
Mampu menyukai sepi,
Mampu tanpa menyanyikan lagu lama,
Dan mampu mengungkapkan cinta

Aku terus tidak mencari,
walaupun ungkapan itu hanya pada engkau (perempuan)

Pekanbaru, 02 November 2004


Aku Takkan Kehilangan-Mu

Aku selalu ingat ketika kita bercinta sambil membaca puisi
Yang sudah aku buat beberapa bulan yang lalu
Pada saat itu aku genggam tanganmu
Dan kau balas genggaman itu dengan hatimu yang tulus

Aku selalu ingat ketika kita bercinta diatas paduan kendaraan pujaanku
Yang telah kita telesuri hampir setengah tahun ini
Aku jalani arah kita dan kau pinta untuk ulangi lagi

Aku juga tetap ingat
Pada saat kita bercanda dan saling menertawakan
Yang aku ingat canda dan tawa itu sudah diawali sejak 11 Januari
Kadang-kadang canda dan tawanya kita kau iringi dengan tangismu

Aku masih ingat
Pada saat aku beri sehelai baju berwarna biru
Dan kau gembira menerimanya
Seminggu setelah kau gembira menerimanya
Aku menangis mengingat kita bercinta diatas paduan kendaraanku,
Membaca puisi,
Bercanda dan menertawakan kita

Aku hanya mampu ungkapkan : “Kuharap dengan cita-citaku untuk membahagiakanmu, seiring ketulusanmu dengan cita-citaku”

“Tolong bahagiakan aku, seperti cita-citaku dulu”

Pekanbaru, 23 Juni 2005


Badai itu Pasti Tak Berlalu
(Saat gempa bumi dan gelombang stunami pada tanggal 26 Desember 2004. Dibaca pada saat Pasar Seni DKR bersama Husnu Abadi tanggal 30 Juli 2005)

I
Pada saat bumi tergulung oleh gelombang
Lalu aku termenung dan menganggap
Bertapa lembutnya kekuasaan Tuhan pada saat itu

Sunyi bukan lagi ada ditengah malam
Terik matahari tidak lagi pernah menerpa serambi
Dan badai-badai yang singgah sejenak
Aku terpikir kalau badai itu tidak akan pernah berlalu

Aku melihat kekuasaan-Mu Tuhan
Pada saat aku tangisi ratusan ribu jiwa yang Kau ambil
Dan berharap untuk bertekuk lutut kehadapan-Mu

II
Sang badai yang sekejap menggelar
Mampu hidupkan kematian diatas kota dan desa bersejarah
Lalu mematikan kesunyian dan menguburkan semua alam

Serpihan kaca, batu, tumbangnya pepohonan, ratanya rumah
Juga mampu mengalahkan runtuhnya harapan,
matinya jiwa,
Hilangnya cita-cita,
Anak-anak kehilangan bapak ibunya,
Kemudian menjadi yatim-piatu

Bapak ibu mencari anak-anaknya
Kemudian menjadi kehilangan yang tak pernah terbilang
Bersama harta

Sudah punah kecintaan dahulu
Seorang anak merintih:
“aku kehilangan cita-citaku untuk bhaktiku kepada orang tua,
sekolah,
bangsa,
kecuali kepada agama,
ya…, aku telah kehilangan semua harapan itu…”

Anak-anak hanya mampu berharap kepada puing-puing yang berserakan
Agar keajaiban itu hanya sebuah mimpi buruknya
Bukan badai sebenarnya

Jiwanya mengarah pada khayalan
Bahwa badai-badai tak’kan pernah berlalu
Dirinya melihat badai itu pasti kembali
Menggulung bumi dengan dosa-dosa murka

Lalu keyakinan khayalan itu
Terlihat dan mengisyaratkan
Seakan-akan dirinya hidup pada saat ini
Akan diterpa gelombang dan tarikan ombak itu

Siapa lagi yang akan di sayat harapan Tuhan
Kita tinggal lagi menunggu untuk itu
Harapan Tuhan kembali kepada kita

III
Ampunkan aku Tuhan…
Aku sadari ada sebahagian dosa-dosa ku di badai itu
Aku yakin ada dosa-dosa saudara ku,
Sahabat ku,
Orang terdahulu,
Pimpinan ku,
Pengacau-Mu,
Dan Umat-Mu
Ditengah badai yang tak pernah berlalu itu

Aku telah menelusuri kenyataan ini
Ada badai dikemudian hari
Jika Kau tidak lagi pedulikan kami,
Dan jika kami Mendurhakai-Mu,
Menjauhkan-Mu,
Dan Rasul-Mu

Badai berpesan:
“Aku akan menjauhi makhluk Tuhan-ku…
Pada saat manusia menangisi dosanya
Dan aku akan menyayat makhluk Tuhan ku…
Pada saat manusia banyak tertawa dengan dosanya
Manusia…,
Tertawamu di muka bumi adalah tangismu di badaiku nanti
Tangismu di muka bumi adalah tertawamu di syurga nanti”


Apa Kata-Mu?
(Menyindir puisi Mantan Ketua BIN Hendropriyono saat pertemuan DPR dan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang hasilnya tak kesampaian. Dirinya kesal ketidakhadiran TPF pada saat itu (21/06/2005)

Puisi Hendro :

Jangan takabur dengan menganggap rendah seorang prajurit tua
Jangan lupakan pengorbanan dan sumbangsih orang-orang terdahulu
Bagi bangsa dan negaranya, tetapi perbaikilah sistem.

Hidup persatuan Indonesia yang besar!

Menjawab puisi Hendro :

“Menganggap rendah seorang prajurit tua”
adalah karena prajurit tua sudah binasa,
“Jangan takabur” kata prajurit tua
karena prajurit tua mengkabur-kabur.

“Jangan lupakan pengorbanan dan sumbangsih”
kata prajurit yang menganggap dirinya tua,
Yang muda tak pernah lupakan pengorbanan dan sumbangsih bagi para pahlawan terdahulu
Tetapi menganggapnya persoalan orang-orang terdahulu
Yang mengorbankan negara dan kemudian untuk memalukannya.

“Tetapi perbaikilah sistem” lagi-lagi kata prajurit tua,
“sistem yang mana?, karena semua sistem sudah di pake’?, jawab si muda.

Hidup prajurit tua!
Hidup persatuan Indonesia yang besa….rr, pembengak!

Pekanbaru, 22 Juli 2006


Kado Kuburan Buat Riau-Ku
(Bersempena HUT Riau ke-48 Tanggal 09 Agustus 2005)
Dibaca pada saat unjukrasa ratusan mahasiswa “Gerakan Mahasiswa Peduli Riau” di gedung DPRD Riau peringatah HUT Riau ke-48

Sampai saat ini
Aku belum pernah menemukan cita-cita negeriku
Dan cita-citaku dahulu untuk keabadianku

Aku belum menekukan harapan dia
Saat anugerahnya mulai menggelimang dan telah tercium orang-orang awam
Untuk secerca harapannya yang sejajar dengan air mata dari tahun ketahun

Aku belum menemukan keinginanku dahulu
Pada saat setahun lalu kubuat puisi untukmu
Ya…kaulah…Riau !!
Kado kuburan buatmu Riau!

Aku masih ingat pada saat kado yang kuberikan setahun lalu
Ya…aku masih ingat harapan itu berupa setumpuk onggok kuburan
Yang bernisankan kayu tua, lebih tua kuburan yang ada di sekitarnya

Oh…! Sampai kapan ketuaan itu
mulai memudarkan keindahanya dari nisan-nisan yang ada disekitarnya
Akankah hingga sepuluh tahun!
seratus tahun!
Ataupun…seribu tahun lagi!

Aku akan tetap menunggumu Riau
Sampai terus aku titipkan warisan nisan buat anak dan cucuku
Untuk sebuah harapan perbaiki kuburan lama itu
Apabila anak cucuku juga tak mampu amanahkan
Untuk memberikan nisan tua itu
Arwahku bersama-sama orang-orang tertindasku
Akan membawa nisan tua itu kepada Riau ku
Yang saat ini belum aku temukan kejayaanya….

Selamat Ulang Tahun Riau Riuh!!

Pekanbaru, 03 Agustus 2005


Negeri LancangKu Ada di Sebelah Utara

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Penantian rembulan tak pernah terhenti
Sedangkan matahari terus bercahaya terangkan kegalauan
Penantian lama rembulan itu yang menjadikan dia berkecamuk
Dia iri dengan pancaran matahari itu
Karena dia melihat sinarnya hanya menerangi kegalauan sebelah utara
Dia terus menelusuri
Diamana kegagahan itu dia dapati
Padahal dia hidup sejuta tahun dahulu dari pada matahari itu

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Rembulan terus mencari bederang kegalauan matahari
Dan sampai rembulan temukan itu
Hanya setitik mata hati ditemukannya
Padahal mata hati itu sudah dimilikinya sejuta tahun yang lalu
Rembulannya semakin tidak mampu berderang
Pada saat rembulan menemukan Lancangku di sebelah utara

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Jantung rembulan berdetak gelegar
Bukan saja menemukan apa yang ditelusuri
Rembulan menemukan banyak sosok bangkai yang berbelatungan
Banyak harta-harta orang miskin tertimbun
Segumpal darah yang sudah lama membeku
Akibat tebalnya rona-rona bencana di Negeri LancangKu

Rembulan itu hanya mengambil secarik kertas dari Negeri LancangKu
Dan dibawanya ke peraduan rembulan dimana sejuta tahun lalu ia bersemayam
Ada titip pesan dari Negeri Lancangku
Kalau di Negeri Lancangku akan ada sinar kegalauan matahari yang sangat terik
Dan semua pecinta rembulan akan sirna dengan kegalauan sinar itu

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Rembulan menangis...
Dirinya merasa berhutang pabila pesan itu tidak diamanahkan
Rembulan menangis...
Dirinya merasa berdosa pabila pesaan itu disampaikan
Bencana akan tiba....di Negeri LancangKu
Rembulan mengajak anak-anak sinar rembulan
Untuk meratap keindahan yang ada di Negeri Utara
Pantas LancangKu ada di Negeri Utara

Negeri LancangKu ada di sebelah utara
Kegembiraan rembulan dan anak-anak sinar rembulan
Kalahkan gelegarnya harapan matahari
Matahari terus jadi dirinya
Dan rembulan terus mencari jati dirinya agar Negeri LancangKu
Bisa terpasung di sebelah utara
Dan bermukim meratap kesengsaraan LancangKu

Pekanbaru, 10 September 2005


Anak Kucing Hitam yang Terbuang

Sudah dua kali aku melewati jalan itu
Dua kali itu pula aku tertoleh kearah tengah jalan
Melihat seekor anak kucing hitam yang terbuang oleh induknya

Dia tidak pedulikan aku
Padahal aku idahkan dia
Dia tidak memperdulikan setiap orang yang mengusiknya
agar bertepi dari jalan itu

“Hus..!, Hus..!.
Hei anak kucing pinggir, nanti kau terlanggar”

Kutatap mukannya penuh dengan kotoran
Tatapannyapun penuh kekosongan
Seakan-akan dalam pikirnya :
“Apa guna hidupku, kalau aku harus ditinggalkan oleh pengasuhku.
Aku terbuang oleh kesenangan seperti anak-anak kucing lainnya.
Biarlah aku mati, hiduppun aku tak berguna
Kalau aku bukan lagi dihiraukan”.

Hari pertama itu yang aku temukan
Kesengsaraan seekor anak kucing hitam yang terbuang

Tujuh hari setelah itu
Aku kembali menemukan
Kesengsaraan anak kucing hitam yang terbuang itu
Sikapnya tak ubah seperti tujuh hari yang lalu
Mukanya yang kotor, terdiam,
Tatapan matanya yang kosong,
Dan bayangan dalam hati untuk memilih mati saja

Aku tak ambil diam
Aku cekik tengkuk lehernya
Dan membawa anak kucing hitam terbuang itu
Ketempat yang lebih aman

“Meong..., meong..., meong...”
Seakan-akan dirinya tidak mempercayakan aku
Kalau aku akan menolongnya
Atau...,
Dirinya meminta agar kesengsaraanya
Lebih dirasakan pada tempat yang aku lihat awal tadi

Dia ku bawa tidak jauh dari tempat dimana dirinya merenung
Ketempat yang kuanggap lebih aman
Kuletakkan anak kucing hitam itu dengan mesra
Kuperhatikan sejenak tingkah-lakunya
Aku melihat anak kucing hitam itu
Tak kuasa menerima kepindahannya
“Ia..., mungkin dia lebih memilih tempat dimana nyawanya terancam”

Posisi itulah yang dirasakan anak-anak negeriku
Yang selalu menari oleh kesengsaraan
Dan jerihnya selalu jadi kodratnya
Di pinggiran dan perempatan jalan
Jeritannya sudah menjadi kebiasaan pekaknya si pemerhati
Maafkan aku bila aku menyamakanmu anak-anak negeriku
Sama dengan kesengsaraan anak kucing hitam yang terbuang itu
Tapi aku tetap rasakan kepedihan
Antara kucing hitam dan anak-anak negeriku
Biar aku ceritakan nanti kepada nahkoda negeriku
Kalau telah terbuang dengan sia-sia harapan generasi kucing
Dan harapan negeriku kelak

Pekanbaru malam, 03 September 2005


Dosa Bali
(Sekelumit mengenang tragedi bom yang kedua kalinya di Bali pada hari Sabtu, 1 Oktober 2005 di Jimbaran – tepatnya di Cafe Menega pukul 19.20 Wita/18.20 Wib, dan Kuta Town Squere – tepatnya di Raja’s Bar and Restaurant-Kuta sekitar pukul 19.42 Wita/18.42 Wib. Sedikitnya 22 orang tewas. Sebelumnya bom sempat mengguncang Bali 12 Oktober 2002)

Ketika aku merasakan ada dosa
Aku serasa di Bali
Ketika aku melupakan Tuhan yang ada
Aku serasa di Bali
Dan ketika aku merasakan dosa dan melupakan Tuhan yang ada
Aku serasa terhempas oleh serpihan Bali

Akh!
Hanya berdosa dan melupakan Tuhan
Semua orang terejam

Pada saat tu semua orang bercerita tentang dongeng
Dan pada saat itu pula Bali bercerita tentang penderitaan
Persis di sela-sela baku hantam

Bukan harus melupakan Bali untuk meninggalkan dosa
Hanya Bali yang mampu mengingakan aku kepada Tuhan yang ada
Dialah dosa
Dan dialah murka

Pekanbaru, 03 Oktober 2005


Bali Kembali Bercita
(Sekelumit mengenang tragedi bom yang kedua kalinya di Bali pada hari Sabtu, 1 Oktober 2005 di Jimbaran – tepatnya di Cafe Menega pukul 19.20 Wita/18.20 Wib, dan Kuta Town Squere – tepatnya di Raja’s Bar and Restaurant-Kuta sekitar pukul 19.42 Wita/18.42 Wib. Sedikitnya 22 orang tewas. Sebelumnya bom sempat mengguncang Bali 12 Oktober 2002)

I
12 Oktober 2002,
Pada saat itu kejayaan ada pada Bali
Dan ada kelupaan yang menerona
Awan-awan hitam nenangisi Kuta
Batu-batu kerikil masuk ke hati hingga ke jiwa
Lalu hinggaplah kepedihan
Pada akhirnya rupa poranda

12 Oktober 2002-an,
Bercecerlah darah, badan bergelimpangan,
Muka sejajar dengan emperan,
Pepohonan dan pasir menjadi saksi harapan
Pada batu dan lempengan yang menjadi saksi
Ketika semua menjadi serpihan

Masih 12 Oktober 2002-an,
Laut menjadi heran
Karena mataharinya telah hilang
Surga yang ada tinggal buta
Dan buta tinggal meraba

II
Ketika 01 Oktober 2005,
Buta kembali meraba
Tidak akan pernah ada surga di Kuta
Dan kembali batu-batu kerikil yang ada
Masuk ke hati hingga ke jiwa
Sehingga bukan saja kepedihan memporandakan
Tetapi hanya tinggal 12 Oktober 2002

Masih 01 Oktober 2005,
Kuta Bali masih menuangkan cita
Untuk harapan ketika penuaan
Kembali Bali sakralkan pujaan
Agar surga tidak ada pada serpihan

Tinggal lagi Bali menunggu dia
Ya..., Oktober 2006 2007

Pekanbaru, 03 Oktober 2005



PUISI 2006


Sunyi di Atas Bentangan Air
Buat Alna Karymunika
(Dimuat pada SKH Riau Mandiri, Ahad, 30 April 2006)

Merajut di antara kelam yang meronta
Salah pijak langkah-langkah daun kering
Yang hidup di tepi riaknya air berbentang
Kulayangkan lamunanku ke arah mata hati air
Dan aku terkejut melihat tanah-tanah
Yang bercumbu dengan beriaknya kekeruhan

Di tanah yang bercumbu dengan kekeruhan itu
Tempat aku bimbang dengan jala yang ada di hatimu
Hikayat-hikayatlah yang dapat memandang kesunyian itu
Agar kesunyian terbentang diantara pelipur lara
Bukan dongeng-dongeng kuno
Kelak menjadi bunga layu oleh teriknya hati

Tengah malam di sejengkal pandang
Perlahan-lahan jatuh rimba
Dan menjadi cerita berita di siang yang panjang
Hingga berakhir menyingsing sunset
Rantinglah menjadi saksi hingga fajar meraung
Dan akhirnya terlampaui

Tinggallah cerita malang, lalu terbang
Ke arah langit untuk dikabari
Ke bentangan air yang bertepi
Hingga mendung bercumbu dengan pelangi
Dan burung berlari dengan sayapnya hingga tinggi
Seperti lamunan sunyi ke senja kala

Pekanbaru, 03 Januari 2006


Tepian yang Bernyawa

Bila suatu jika…
Iftitah lalu mata menghadap imaji petaka,
Sudah saatnya sampai ke batu-batu yang panas
Awan-awan yang hanya tinggal pasrah
Dan sesajian berubah menjadi kematian
Jika pudar mata bukan lagi untuk membaca firman

Bila suatu jika…
Ruku’ terpatah dan jemari menggenggam lutut
Untuk mengingat naluri agar terlupakan kesunyian yang gelap
Dan hati yang mati sudah menghadap fajar
Untuk bisa saling membagi bahagian infaq

Bila suatu jika…
I’tidal lurus bak alif yang menjulang
Kembali menaluri qalam-qalam Illahi
Sehingga memudar lorong batu
Yang kerap dihinggapi dedauan kering
Supaya qona’ah dan tidak ragu untuk bersyukur

Bila suatu jika…
Sujud mengalahkan segala harga mati
Untuk mencium kembali jannah yang ada di sajadah
Selalu air mata hinggap menjadi hujan bandang
Agar bisa menjadi bahagian dari-Nya

Bila suatu jika
Aku berada di tepian yang bernyawa
Agar bertawakal dan bersumpah menjadi khalifah
Dan kembali bersujud
Untuk menjadi sebenar-benarnya manusia yang beribadah

Pekanbaru, 28 Februari 2006


Serasa Hatiku Kembali Memanggil

Di 11 Januari itulah,
Awan dan kelam
Memuji sunyi yang ada di setiap degupan
Dekit jam dan menunggu datangnya khayalan
Yang selalu ada di kedua mata titik klimaks-mu
Pada saat itu pula
Hewan-hewan alam ikut bertepuk tangan
Riang melihat tangisan-mu
Ketika kabar burung
Penantian-mu ada disisi cinta harapan dahulu

Di 11 Januari itulah,
Aku dahulu yang memulai keinginan kunang-kunang
Dan bulan di hari sesaat kau terkejut melihat murkanya bumi
Ada pepohonan tanpa ranting,
Ada angin senyap, dan ada pula air mata-mu
Di kegelapan puing-puing cinta-mu

Di 11 Januari itulah,
Aku merasa kali pertama ada di 11 Januari
Padahal ada kunang-kunang dan bulan yang lebih berderang
Menerpa pepohonan hingga tertariknya akar-akar

Hingga di 11 Januari itulah,
Awan,
Kelam,
Hewan -hewan alam,
Kunang-kunang,
Bulan,
Pepohonan tanpa ranting,
Angin senyap,
Penantian,
Air mata tangisan, lalu...
Aku dan cinta,
Ikut menyapa-mu :
Kembalilah kau menangis
Agar aku ikut jua menyapa-mu
Dan aku kembali memanggil cinta
Selamat ulang tahun carpricorn-ku.

Pekanbaru, 11 Januari 2006


Babak Baru dalam Kematian
(Dimuat pada SKH Riau Mandiri, Ahad, 30 April 2006)

Memelas dahaga mencurahkan belantara
Siang dan malam berubah menjadi angin
Yang berhembus tanpa beraturan
Lalu mengalir bagai air tanpa menemukan hulu
Dia terus mencari arah agar babak baru dia temukan
Berharap pulang ke peraduan
Hanya tinggal sehelai rambut
Dan secarik daun kering tak bertulang

Nafasnya sudah menemukan rongga
Dan terisak bagai belulang dikerumuni lalat
Hanya mampu meneteskan darah dan rona
Berlapang-lapang untuk bersemanyam
Dia menangis
Dia merunduk noda
Dia teringat
Dia merangkak
Dia luluh
Dia teriak
Dan dia hidup tinggal satu atap bersama petaka

Pekanbaru, (17.08 WIB), 22 Maret 2006-03-22


Bersanding Lara

Duduk diantara dua duka
Yang di tengah ada lara
Bercumbu dengan mata
Di tengahnya ada cahaya
Meradu di atas kepala
Di tepinya ada rona-rona
Berharap minta pahala
Di ujungnya ada neraka

Buka mata pada malam buta
Di siangnya enggan berjumpa
Harap-harap untuk dahaga
Di atas dada ada terbuka
Minta-minta agar ternoda
Memar di tengah kepala

Pekanbaru, (17.15 WIB) 22 Maret 2006


Kisah-kisah Wajah Lumut
(Dimuat pada jurnal PuanRi edisi perdana bulan Juni 2006)

Di tepi jalan protokol
Anak-anak itulah yang menjajal
Dia berteriak sambil menepukkan kedua telapak tangannya
Sehingga pori-porinya menangis
Dan menatap kaca buram yang di dalamnya orang buta

Di atas jembatan tua itu
Ibu-ibu menggendongkan anaknya
Yang saban hari lukanya bak ingus
Menadah tangan arah langit
Dan pangkuan ibu terkencing si anak ingusan
Sehingga orang-orang hanya melihat kelumpuhan tubuhnya

Di persimpangan Sudirman
Bapak-bapak tua bersama tongkat kayu luluh
Mengejar dimasing-masing kendaraan
Dan sesekali terkelincir jatuh
Agar dia jumpa dermawan bebal
Dan lagi-lagi dia hanya berbalas muka yang patah

Di perkantoran balai kota itu
Mereka semua digumpulkan
Agar berbalik memelas

Pekanbaru, (16.20 WIB) 23 Maret 2006


Menunggu Jawaban dari Presiden
(Dimuat pada jurnal PuanRi edisi perdana bulan Juni 2006)

Setahun yang lalu seorang guru menyurati presiden
Secarik kertas folio yang diambil dari kantornya
Sehingga dia harus bergegas menulis
Karena dia menganggap seorang pahlawan
Yang harus berjuang untuk ribuan guru lainnya

Seminggu,
Dua minggu, tiga minggu,
Empat minggu, lima minggu, enam minggu,
Guru menanti balasan surat itu
Alamat presiden belum terbalas di rumahnya
Sehinga was-was ada di setiap benaknya
“Apakah dia menjawab surat itu?
Atau presiden enggan menjawab
Karena cobaan itu harus diterima guru!

Guru kembali menulis surat
Yang isinya tidak berbeda dengan surat enam minggu lalu

Satu bulan,
Dua bulan, tiga bulan,
Empat bulan, lima bulan, enam bulan,
Guru itu tetap menanti balasan surat dari presiden
Hanya menunggu secarik saja guru itu rela usap dada
Dan kembali terus menunggu

Kembali guru mengambil kertas folio dari kantornya
Dan kembali menulis surat
Yang isinya lebih memelas dari surat terdaulu

Satu tahun,
Dua tahun, tiga tahun,
Empat tahun, lima tahun, enam tahun,
Guru malang itu menanti balasan surat dari presiden
Di dalam terali besi sambil menangis
Karena terbukti mencuri dua lembar kertas aset negara

Pekanbaru, (16.45 WIB), 23 Maret 2006


Puisi Karangan Anak Yatim
(Dimuat dalam SKH Metro Riau, Minggu, 7 Mei 2006)

Dari ujung pandang matanya
Ada kelopak senja yang merah menanti
Sudah berulang ganti menyala
Beriak hingga wewangian hinggap
Di dedauan tanpa ranting

Pagi hingga pagi lagi
Burung-burung tak berkicau sebagaimana hatinya
Sembilu menjamah lukanya
Dan menyisakan rasa gulana
Bermohon dan merayu agar kembali merana
Dan ulamkan kesucian menautkan hatinya dulu

“Kasihanilah atas duka kini dan duka yang akan tiba!!”

Pekanbaru, (17.13 WIB) 23 Maret 2006


Bertumbuk dengan Canda
(Telah terbit di SKH Riau Mandiri, Minggu, 2 Desember 2007)

Dia menyingsing
Aku melompat
Dia melenggang
Aku menyingkir
Dia mencambuk
Aku membalas
Dia berlari
Aku mengejar
Dia terlentang
Aku menerkam
Dia marah
Aku diam

Pekanbaru, (14. 45 WIB) 31 Maret 2006


Ada Malam di Musim Salju
(Dimuat dalam SKH Metro Riau, Minggu, 7 Mei 2006)

Paginya,
Kemuning mengebus di tenggara waktu
Hingga menyingsing menyisakan waktu di tengah hari
Porak-poranda oleh kegirangan lagu karangan laut
Hingga resah mengenang nasib burung walet

Siangnya,
Dingin hingga membeku dan berubah menjadi batu
Dan tersohor hingga ke pelupuk musim
Dan pada akhirya sungai dari hulu ke hilir
Dan kembali ke pertemuan selat
Lalu awan berubah menjadi kapas
Dan terbang terbawa oleh resah

Sorenya,
Petang menjemput lagu karangan laut
Hingga menuju mata air yang luluh oleh teriknya salju
Dan mengubahkan perjalanan itu seperti terombang-ambing
Dan berujung pada perahu terombang-ambing pula

Malamnya,
Pagi sudah dijemput oleh penggawa-penggawa
Kerajaan musim salju
Hingga mengubah negerinya menjadi
Negeri malam di musim salju

Pekanbaru, (15. 00 WIB) 31 Maret 2006


Matinya Anak Bumi Ditelan Mummi
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Burung camar hinggap di atas bathinku
Bukan merayu dahannya yang patah
Akibat burung cicit yang hinggap di dedaunan
Lalu merobahkan niatnya agar berbicara pada Tuhan
Untuk memohon agar tempat tinggal hidupnya
Menjadi arang yang putih...

Dia terus bernyanyi di perairan yang tenang
Dan sesekali mengepakkan sayapnya
Lalu kembali bernyanyi
Mengajak burung-burung ilalang
Untuk terbang bersama dan sambil mencaci maki

Dalam hidupnya yang penuh sengsara
Bumi dan awan-awan sudah menjadi singgahan pasti
Tetapi mati oleh mummi yang terus bernyani
Gelora dan mara adalah teman sejawadnya
Untuk melangkah dan merenangi sungai-sungai tenang yang mati

Mummi menjadi saksi kematian burung dan sungai
Dan bumi menjadi rakus untuk mengutuk dirinya
Menjadi belahan-belahan dan keping-kepingan
Batu sudah menjadi rapuh...
Pasir sudah menjadi luluh bagaikan lendir...
Kayu sudah menjadi serpihan...
Besi sudah merubah wujud menjadi rumput...
Lalu gunung terbang-terbang...
Dan kembali terbang bagaikan kapas di awan
Dan... berakhir pada penderitaan.

Pekanbaru, (14.30 WIB)15 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


Bumi dan Langit Ada di Kaki Bukit
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Bumi...
Langii..t...
Menjerit...

Bumi...
Langii..t...
Mengigit...

Bumi...
Langii..t...
terjepii..t...

Bumi...
Langii..t...
Sembelit...

Bumi...
Langii..t...
Mencubii..t...

Bumi...
Langii..t...
Tersulii..t...

Bumi...
Langii..t...
Terkurit-kurit...

Bumi...
Langii..t...
Ada di kaki bukit...

Bumi...
Langii..t...
Terbirit-birit

Bumi...
Langii..t...
Ada..di..burit...??


Pekanbaru, (14.45 WIB)15 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


H-U-T-A-N
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)


Hutan...
Habis dibabat menjadi keringat
Dan mensulap menjadi biadab

Utan...
Ungkapan rupa merubah nyawa menjadi batu-batu
Berkahir pada muka berkutu dan menjadi manusia terkutuk

Tan...
Tanpa rasa kasihmu raut berdaya mengubah duka
Menatap dasar kerak poros alam yang tak berujung

An...
Anak-anak bertanya dan menangis
Meminta nyawanya dikembalikan
Dan kembali bermain di air yang Tuhan berikan

N...
Nuranimu kami tanyakan
Dan meminta jiwamu untuk kami pasung
Agar terjilat oleh belatung-belatung
Dan menjadi nyawa yang berbangkai
Lalu hina di muka Tuhan

Pekanbaru, (15.02 Wib)15 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


Perkataan Tuhan
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Zhoharal fasaadu fillbarri walbahri
Bimaa kasabat aidinnaasi liyudziiqohum
Ba’dholladzii ‘amiluu la’allahum yarji’uun...

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
Disebabkan oleh perbuatan tangan manusia
Supaya Allah merasakan kepada mereka
Sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka
Agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Shodaqallahu

Perkataan Tuhan itu yang menjadi peringatan bagimu
Sehingga durjana dan bencana bagi kita
Dan kembali kepada-Nya

Surga dahulu sudah tak ubahnya seperti muram durjana
Dan murka sahaja sehinga mati bersama

Perkataan itu juga telah menjadi perkataan suci
Yang sedari dahulu ada pada Rasul
Dan manusia ada hanya untuk kembali kepada-Nya
Bukan menjadi manusia yang sesungguhnya

Maka daripada ini,
Jadillah engkau segenap binatang liar
Agar Tuhan tidak mengukurmu pada kelak yang kekal
Akibat bumi dan laut milik Tuhan
Sudah tergenggam oleh tangan-tangan yang berlumur oleh lumpur
Lalu berkhatam menjadi kubur

Selamatkan yang masih ada...
Dan yang akan tiada...

Innaalillahi wa’inna illaahiraaji’uun

Pekanbaru, (15.35 WIB) 17 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April
Ayat diangkat dari QS: 30 (Ar-Ruum-Bangsa Rumawi) ayat 41


Antara Bumi dan Pelacur
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Dia dijajal?!
Dan aku juga dijajal?!

Dia diraba?!
Dan aku juga merasakan diraba?!

Dia dicium?!
Aku juga dicium?!

Dia dicungkil?!
Aku juga ikut dicungkil?!

Dia dijilat?!
Dan aku juga dijilat?!

Dia disetubuhi?!
Dan aku juga ikut disetubuhi?!

Dia disodomi?!
Dan aku juga disodomi?!

Aku dipopoh?!
Dan aku juga ikut dipopoh?!

Dia merintih?!
Aku juga sama merintih?!

Dia ditembak?!
Dan ternyata aku juga ditembak?!

Ternyata...
Sama saja antara aku dan dia
Ya.. antara bumi dan aku seorang pelacur!!

Pekanbaru, (15.55 Wib) 17 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


Abstraksi Tuhan
(Dimuat dalam SKH Metro Riau, Minggu, 7 Mei 2006)

Derap melangkah
Dan ayunkan tangan
Sambil menujuk nurani
Aku berjalan ke sebuah tali
Yang di tengahnya telah dibelah menjadi tujuh
Lalu disulap menjadi tali tambang yang sangat tebal
Sehingga aku bersenggayut
Dan mengayunkan kakiku di atas asap-asap
Dan bebatuan tajam
Yang dialiri sungai merah bening
Dan ada anak-anak ikan tanpa duri
Jelang itu burung-burung mencicit kelaparan

Ternyata aku terbangun
Dan ada yang membisikkan aku
Kalau aku harus menjadi makhluk
Yang punggungnya patah

Pekanbaru, (16.05 WIB) 17 April 2006


Ada Perempuan di Sungai Jannah
(Dimuat pada jurnal PuanRi edisi perdana bulan Juni 2006)

Kerudung yang membulan-bulani pori-porinya
Sudah teraliri embun sehati dan menjadi tebing
Yang dapat melintasi marwah muka dan surga
Berbagai pintu yang menantinya
Dan tidak ada satupun celah yang luput menjadi persinggahan
Agar kelak mengubah binatang melata
Menjadi ginjang yang terbang bersama kupu-kupu bersayap putih

Sudah menjadi catatan Dia
Agar engkau-engkau ada bahagian sisi Diri-Nya
Dan sudah menjadi penetapan yang abadi pada kaki-tanganmu
Supaya sekucur tubuh dan bahasamu
Menjadi ikrar dan keutuhan

Engkau-engkau…
Itulah bagi perempuan
Dan langit beserta bintang menjadi wali
Untuk engkau-engkau disegera terbang bersama kerudung
Yang membulan-bulani pori-porinya
Pada akhirnya…
Kesungguhan itu menjadi cita dan duka
Ya…
Cita untuk harapan dan duka untuk tangisan riang.

Pekanbaru, (17.08 WIB), 11 Mei 2006


I-S-L-A-M
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 29 Juli 2006)

Indahnya kelak aku berpulang
Ketika bumi berubah menjadi debu-debu
Dan debu itu mengantarkan aku kepada-Nya
Untuk kembali melihat janji-janji pada mi’raj

Subhanallah…
Aku melihat janji-janji itu
Benar kalau Dia memang penepat janji
Ada sungai susu,
Ada pohon yang akarnya di awang-awang,
Dan bahkan ada bidadari-bidadari yang terus perawan

Lambaian-lambaian manusia
Mukanya yang bercahaya terus memanggil aku
Seakan-akan mengajakku untuk minum,
Makan dan bersenang-senang menghabiskan waktu
Untuk melupakan bumi yang sudah menjadi debu
Dan kembali kepada yang kekal

Astagfirullah…
Akankah aku menjadi bahagian dari ciptaan-Mu
Padahal aku sudah mendustai-Mu
Aku ingin ada dalam keramaian itu

Murka ragaku
Pada saat aku menjadi bahagian itu
Tapi aku sadari
Kalau Kau mampu mengasihiku
Sehingga duniaku penuh dengan hadist-hadist

Pekanbaru, 7 Maret 2006


Mimpi Berjumpa Nabi
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 29 Juli 2006)


Persis di bulan Dzulhijjah
Tepatnya hari Ahad,
Aku terbangun pada pukul 02.47 Wib
Dan ternyata aku berjumpa dengan Nabi
Dalam mimpi ini
Dia tersenyum seiring dengan tarian daun-daun
Lalu angin membawa debu-debu
Ke arah belakang badanku

Aku masih ingat cerita guru ngajiku :
Kalau Nabi serupa seperti dalam tidurku itu
Wajahnya bercahaya, tawanya sesuai kadarnya
Dan tingkahnya ada di kepolosan kapas-kapas

Nabi dalam bunga tidurku itu
Menitip pesan padaku :
Agar aku menjaga diriku
Dari berubahnya siang dan malam
Dan Nabi dalam kesungguhan tidurku itu
Juga menitip pedang tajam padaku
Yang di ujung pedang itu
Bertuliskan : Qu-dist

Kaliputih, (20.47 WIB) 7 Maret 2006


Dulu Kamboja, Sekarang Putrimalu
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 29 Juli 2006)

Petang dahulu,
Dia dan aku sejajar
Pada saat aku dan dia meniup batu karang
Yang ada di tegah selat laut
Lalu aku dan dia menjadi pahlawan
Persis di tengah pulau tanpa pepohonan itu
Anehnya aku dan dia saling berperang
Saling memidik, saling mencari sela
Agar diantara aku dan dia
Menyerah di tengah pulau itu
Yang sebentar lagi akan gelap

Masih di tengah pulau itu
Dia tetap mencari arah yang tepat
Agar aku menjadi kamboja
Lalu akan ditaburkan olehnya
Di atas gundukan tanah berlumpur

Sehingga pada saat detik-detik musim semi
Kilat menyambar hati kami berdua
Dan merubahkan wujud aku dan dia
Seperti domba yang patah tanduknya

Ternyata...
Akhirnya aku dan dia mati
Dan pada akhirnya
Aku dan dia menjadi bunga putrimalu
Yang tak berani menatap wajah kami yang lugu

Kaliputih, (20.25 WIB) 7 Maret 2006


Pesan Buat Tuhan
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Hitam yang membiru
Di muka mata telinga mengubah butiran pasir
Yang menanamkan ke tenggelam rawa
Sama rasa dengan empedu

Didalam ia menjerit kesedihan
Di liang itu ia juga meminta kepada Tuhan
Agar mengembalikan apa yang ada di dalam perutnya
Yang dipenuhi oleh cacing-cacing hingga semua binatang melata

Ke ranjang terakhir itu matanya sudah tidak setajam heningnya
Lalu tetap saja menjadi butiran
Dan menjadi arang

: Katakan kepada Tuhan kalau aku sudah datang menghadapnya!
: Tidak perlu kau titip pesan itu kepadaku,
karena Tuhan sudah ada di hadapan mu
untuk menikam mu hingga kau meminta jera
: Bukan itu yang ku harap,
Karena Tuhan sudah memberikan nasib kepada ku
Kalau aku akan diberikannya ke tempat yang layak
: Layakmu adalah tempat kematian bersama kafir
: Bukan! Tuhan tidak akan mensandingkan aku dengan kemunafikan
Tetapi menyandingkan aku dengan orang-orang musafir
: Ya! Kafir itu adalah kau! Pesan apa yang akan kau sampaikan kepada Tuhan?
: Sampaikan pesanku kepada Tuhan,
Kalau aku mau sujud yang terakhir kalinya!

Jogyakarta, 18 April 2006


Suguhan Rembulan
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Bayangannya menari di tegah cahaya
Merubah seluruh keindahan zamrud khatulistiwa
Sehingga dengan sekejap menjadi bebatuan
Tari-tarian karya alam itu
Meneriakkan kesunyian di tengah kerumunan kunang-kunang
Lalu saling berganti, bergetar, dan bersayap

Satu abad dia mengukir cahaya
Dan di abad yang kedua dia tidak lagi mampu menari
Karena kehilangan cahaya rembulan yang ditelan oleh kapas
Perjalanan itu hingga mengakhiri keperawanan yang layu
Dan akar-akarnya sudah menjulur ke lubang kelam

Satu masa terkahir
Rembulan merasa bosan
Karena tidak ada yang menemani
Dan zamrud khatulistiwa tetap pada pendiriannya
Untuk menjadi bebatuan
Dan tari-tarian hanya ada pada kegelapan
Sehingga bayangannya luluh oleh cahaya

Jogyakarta, 18 April 2006


Sejuta Kembang
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Sudah mendekap wanginya ke lubuk senja
Harinya setiap malam diguyur oleh hujan
Yang airnya adalah kembang dan wewangian
Di perempatan malam,
Gemerlap menjelma menjadi batang yang kokoh
dan akan lapuk ketika hujan jatuhi kembang-kembang

Wanginya berterbangan bersama duri dari jari
Sewaktu itu adalah hari yang sah menurut penyair malam
Diantara sejuta, hanya satu kembang yang ku kenang
Dia ada di perempatan malam
Di seberang sejuta kembang

Bandung, 18 April 2006


Aku Terbang Bersama Hayal
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Aku bermimpi kalau aku telah hidup bermasa kasturi
Kasturi itu adalah dia yang pernah aku jumpai setahun enam bulan yang lalu
Dia aku juluki Munika
Dalam mimpi itu aku dipanggilnya dari kejauhan
Aku hanya berteriak riang :
“Hei! Engkaukah itu kasturi”
Dia berlari hingga hilang mengucup di tengah asap putih tebal
Seakan-akan aku diajaknya hilang untuk terbang bersamanya

Setengah ku kedipkan mataku
Dia kembali menyapaku
Dan dia ada di belakangku
Ternyata benar kalau kasturi itu adalah Munik
Yang wanginya sudah aku rasakan pada saat aku masih di rahim

Mampukah aku memilikinya?
Walaupun hanya terbang bersama hayal!

Bandung, 19 April 2006


Alna yang Bimbang
(Telah terbit di SKH Riau Mandiri, Minggu, 2 Desember 2007)

Dia bukan ada di dirimu
Dan dirimu tidak selalu ada di hatinya
Tetapi salahkah aku untuk menjadikan dirimu
Seorang kupu-kupu malang oleh kenyataan
Yang tenggelam oleh malam dan bernyanyi pada saat senja
Tetapi aku belum merasakan pilunya hati bulan
Karena kayu-kayu yang selalu mengeluarkan gentahnya
Sudah menjadi beku karena hari dah menjadi malang

Tapi lupakan dia
Karena dia sudah menjadi getah yang beku
Bukan karena hari yang dah senja
Tapi karena malam
Yang tidak akan pernah menyalami pagi

Kau tidak perlu risau dengan hari-hari itu
Untukku yakinkan pada pilumu tadi
Bahwasanya ada hari-hari yang lebih membawamu
Untuk hilang dari bimbangmu
Ya…,
Hari yang ada di ujung janur itu
Dan ada sebungkus kado
Yang terbuat dari bekunya getah kayu itu
Agar istimewaku (Alna) menjadi harapan siang, senja, dan malam

Pekanbaru, (23.25 WIB) 5 Maret 2006


Puisi yang Bersemayam
(Telah terbit di SKH Riau Mandiri, Minggu, 2 Desember 2007)

Aku tidak pernah lagi mendengarkan kata-kata indah dari langit
Padahal kata-kata indah yang berakar
Menjadi rapuh oleh reruntuhan cakrawala
Sehingga terpecah derai menjadi debu
Aku tanyakan pada ‘alim ulama tentang kata-kata indah itu
Dia hanya pandai menjawab:
Kalau kau telah kehilangan hati
Lalu aku kembali bertanya kenapa hatiku hilang
Dia hanya melintingkan tasbihnya
Dan sekali menjawab:
Kalau aku sebenarnya sudah mati akan kata-kata indah itu
Dan aku katanya tidak akan pernah menemukan kata-kata indah
Karena aku sudah jauh dari-Nya

: “Dialah terindah yang pernah aku rasakan
dan puisi-puisi itu sudah ada pada-Nya
dan tidak akan pernah dikembalikan padaku
kalau aku sebelum menjadi batu untuk tetap tegak
kaku dan beku agar puisi indah itu
ditanamkan dalam hatiku dan mengubahkanku
menjadi kertas-kertas, lalu kapas dan menghentikan nafas

Pekanbaru, (23.40 WIB) 5 Maret 2006,


Dia Ada di Sejumlah Akar
(Telah diterbitkan di SKH Riau Mandiri, Ahad, 10 Februari 2008)

Menyesatkan duka hingga bergelimang
Mata air mengaliri ke hilir
Dan membawa kembali ke tebing
Lalu hinggap sejenak ke rawa-rawa
Jadilah sosok manusia-manusia yang kehausan
Dan meronta agar menemukan alamnya

Dia sadar pada kesunyian itu
Tapi dia tetap ingin hinggap menjadi benih
Yang tidak tahu apakah dia menjadi amahan atau menjamah

Dinding-dinding panggung menjadi pekak
Dan alas sudah bosan untuk terus di aliri hingga nifasnya
Kuku-kukunya tajam, kakinya lasak,
Dan matanya menatap surga
Menjerit ingin mati
Dan teriak agar hidup

Terhalang jari jemari dan kaki mengayun ke muka bumi
Bersandar pada takdir
Bersujud akan umur
Menjanur jelang uzur
Rezki yang telah terukur
Selasih sudah terbusur
Hinggap kembali pada kubur

Dan akar-akar hanyalah menjadi saksi

Pekanbaru, (23.53 WIB) 5 Maret 2006


Selamat Malam Tuhan
(Telah diterbitkan di SKH Riau Mandiri, Ahad, 10 Februari 2008)

Selamat Malam Tuhan!
Selamat berjumpa kembali
Yang tidak pernah aku temui
Aku sudah melihat Kau ada di lubuk ini
Tapi lagi-lagi kau hanya mengukir

Selamat Malam Tuhan!
Aku sudah rindu dengan percakapan ini
Yang dulu pernah aku temui-Mu
Tapi sayangnya
Kau hanya sibukkan dengan keburukanku
Agar aku jangan selalu menjadi patung yang bernyawa
Supaya aku terus membendung sungai
Yang ada di kelopak mataku

Selamat Malam Tuhan!
Keningku sudah menjadi arang
Lututku sudah memar
Mataku sudah menjulurkan empedu
Dan hatiku sudah merajai
Tinggal lagi aku beusaha untuk menemui fajar

Selamat Pagi Tuhan!
Semua sudah ada di detak jantungku
Dan aku sudah temui fajar
Bahkan hingga senja menyingising
Tapi sayangnya…
Kau selalu ada di sebalik langit.

Pekanbaru, (24.02 WIB) 6 Maret 2006


Dungu

Dia menjulur
Hingga tersungkur
Mata kabur
Tengkuk melebur
Rambutnya uzur

Dia jorok
Iq jongkok
Kerjanya ngorok
Tingkahnya bobrok
Selalu mencari borok

Dia malas
Hatinya gemas
Suka memelas
Hingga merampas
Hingga panas

Bertaubatlah dungu!

Pekanbaru, (22.55 WIB) 22 Maret 2006


Bercumbu Bersama Bunga-bunga

Dia hanya tumbuh bersama lebah
Dan lebah mencari makanannya di pancaran itu
Sehingga harus merasa berhutang
Agar lebah memberikan wewangian
Bagi gemerlap malam-malam

: “Kembali harus bercumbu” katanya
Dahaga bernyawa itu yang membuat robohnya degupan
Sehingga ruang-ruang merubahnya menjadi kelam
Dan hanya diakhiri tawaran agar sama-sama berpulang

Kembali harus mencari cumbuan
Dan kembali menemukan bunga dulu yang telah lama layu
Agar direbahkan hingga ruang-ruang kembali kelam
Dan lagi-lagi tawaran yang dikeluarkan lebah
Dan lagi-lagi pula bunga layu tersendu menjadi lebih layu

Lebah dan bunga sudah merasakan pilu
Untuk menjadi dua sosok yang menderita selama hidup
Bunga itu menjadi berduri yang diambil dari sengatan lebah
Dan lebah menjadi layu untuk dicumbui

Pekanbaru, (23.07 WIB) 22 Maret 2006


Bisu-bisu

Terbungkam sudah pori-pori
Melewatkan tingkah yang bias dalam cengkraman
Melewati jenjang yang tak bertiang
Hingga langkahnya berujung pada penderitaan
Enggan berucap walaupun hanya sedetik
Dia lebih memilih dirinya
Untuk mendekamkan dalam jiwa-jiwa

Berpulang pada hati
Berlontarkan busung hingga mencium lututnya
Dada-dada terisak melemah dan menjadi patah arang
Sunyinya harap itu
Sudah kembali mempulangkan bungkaman petaka
Hanya percakapan antara hati dan jiwanya saja yang mengerti
Dan jantung hanya menjadi saksi hinaan itu.

Pekanbaru, (23.17 WIB) 22 Maret 2006


Kritikkan Sang Kulit Hitam
(Bentrok mahasiswa Uncen Papua dengan aparat kepolisiaan pada Kamis, 16 Maret 2006, yang menyebabkan 3 orang polisi dan 1 orang TNI AU tewas)

Melangkah demi langkah
Satupun cita-cita terawang
Sudah ada terbetang di seberang jalan
Matanya menyedu dan kulitnya menjadi luluh
Akibat bendera itu didirikan setengah tiang

Dia mengambil apa yang ada di depan matanya
Dan membuang apa yang ada terlihat oleh mata angin
Kembali bersua menjamu duka
Dan cita sudah terkubur oleh waktu
Dan waktu sudah tersimpan rapi di peraduan

Pekanbaru, 16 Maret 2006


Membendung Tangisan Si Bisu

Seandainya Tuhan sudah menjanjikan kepada seluruh manusia
Agar bisa bersama-sama menari dan berlari di atas kain lipatan
Yang di dalamnya ada topeng-topeng menyeramkan
Pasti topeng-topeng itu akan dipakai manusia
Untuk menari dan berlari lebih jauh lagi

Seandainya Tuhan sudah menjanjikan kepada seluruh manusia
Untuk bersama-sama melihat keindahan satwa
Yang di dalam satwa itu ada kunang-kunang dan laron
Pasti kurang-kunang dan laron itu menjadi santapan manusia
Agar bisa menjajalkan diri hingga adzan subuh tiba

Seandainya Tuhan sudah menjanjikan kepada manusia
Supaya bersama-sama berbicara indah-indah sehingga tertawa
Teruntuk angin malam yang telanjang oleh kebebasan
Pastilah manusia-manusia bisu berontak
Betapa tidak adilnya Tuhan

Pekanbaru, (23.18 Wib) 24 maret 2006


Seandainya

Seandainya manusia tahu keindahan dalam Islam
Mereka akan berbondong-bondong mencari tetesan zamrud
Seandainya manusia tahu
Kalau kebangkitan Islam akan menghidupan manusia
Mereka akan mencari keimanan itu
Untuk mempertemukan di masing-masing masjid

Seandainya manusia tahu kalau Allah Maha Besar
Manusia akan mensujudkan kepalanya ke tanah meminta ampun

Seandainya manusia tahu kalau kiamat sudah ada di ujung pedang
Manusia-manusia akan berjemaah shalat tahajud

Dan seandainya manusia tahu kalau Allah menyediakan syurga
Manusia-manusia akan berlari-lari,
Merangkak,
Memelas,
Meronta,
Mengharap, dan menangis
Untuk bertaubat meminta ampun
Karena manusia-manusia telah mendustakan Allah dan Islam

Marilah tunggingkan pantatmu!
Wahai kau yang sebentar lagi akan menjadi tanah
Dan tulang belulang

Pekanbaru, (23.45 WIB) 24 Maret 2006


Mencari Waktu yang Hinggap

Seiring denting waktu
Bara-bara itu yang mencaji corong lagu
Sehingga merubah sekejap malamnya yang angkuh
Koran dan Qur’an telah membisu
Supaya anggapan menjadi peliknya malapetaka

Dialah orang-orangan sebagai hiasan kumuh
Dia pula patung-patung yang ada dan mengabaikan yang berada

: “Kembalikan waktunya yang tersita, agar siangnya
Bersahaja akan rasa raja”

Dia pulang, lalu keluar, hinggap, dan pudar bersama waktu

Jakarta Pusat, (15.55 WIB) 28 April 2006


Gara-gara Bajaj, Ia Ke...

Memang harus berpanas-panas untuk desak-desakan
Bukan bajaj namanya kalau bukan mendesak
Tapi bajaj menjadi tampang kota
Betawi julukannya bukan mengubah si kancil usulannya

Dia tetap menjadi dekorasi kota yang penuh gerlap
Sehingga tidak gagap karena gelap
Padahal pelayaran bajaj berhasil membawa titik
Hingga ujung simpang kesiuran
Tapi tetap kokoh, bagai tangan dan mata kaki
Hingga ke liang derasnya keringat
Hingga ke...

Jakarta Pusat, (16.28 WIB) 28 April 2006


Jum’at Malam

Sehari aku jumpa matanya
Tapi hilang setelah aku memejamkan hatiku
Dan dia kembali lagi untuk menatapku
Ternyata hanya ada kesunyian dan detak jantungku di hatinya
Walaupun dia tidak ada di hirupanku
Aku tetap merasa hembusan jarinya ke telingaku
Dan langkahnya terdengar oleh mataku
Dan senyumnya ada di setiap nyawaku

Jakarta Pusat, (16.40 WIB) 28 April 2006


Cerita dalam Tokoh

Terapung keinginan seraya berfatwa :
“Aku adalah jalang-jalang tuah yang hanyut pada kemarau lalu”
Patahkan saja ranting yang sudah mulai rapuh kerontang
Akibat kemarau yang berabad lamanya
Pagi hingga paginya pun kami masih merasakan hiruk
Dan pikuk yang kiambang terus menerus

Rab….!
Jatuhkan air mata-Mu ke tanah yang malang ini
Karena kami sudah hampa dengan jeritan yang teramat pekik

Rab…!
Tak usah Kau timbang-timbang lagi
Karena titipan-Mu sudah hanyut bersama waktu
Naskah drama apa yang lagi akan Kau hibbahkan
Padahal semua peran sudah kami tokohi
Tidak ada lagi sutradara teranjung
Tidak ada segala penata terbaik
Tapi…,
Hanya ada kata :
“Kami telah menjadi aktor yang selalu salah”

Menjerit…!
Sambil ku tatap atas kepala ku
Pada akhir nafas syahadat yang aku simpan dalam laci

Pekanbaru, (11.56 WIB) 24 Desember 2006


Khalifah Buta

Paruh baya tahun ini
Aku menjelma menjadi bulan
Dan kau tak ubahnya bintang yang bersusun rapi dengan awan
Bersama dengan waktu
Kau lalu aku adalah sama-sama hati
Yang sama-sama sedang mencari bulan dan bintang

Sapa saja kegalauan turap paruh yang hampir rapuh
Karena santun sudah dilipat menjadi rapat
Apalagi petuah yang dituliskan di atas daun kemangi
Sudah redup tintanya atas seribu musim
Ada musim larut!
Ada musim bangkit!
Ada musim taubat!
Dan ada musim menjerit kepedihan

Pada hayalku
Aku terbuang bersamaan sepinya malam
Lalu hinggap pada peraduan senja
Hanya ada pada benakku :
“Telah terbuang sudah ranah ilalang Melayu
Atas kehendak Hang Jebat yang katanya durhaka
Tetapi Tun Teja lah yang marah atas segalanya
Karena dirinya masih suci”

Aku hanya bisa menjerit
Mewakili khalifah yang nafasnya sudah di pelupuk tenggara
Karena aku bersama yang lain hidup dengan tangis
Dan merasa dijajah pada pelukan ruangan yang gelap

Kamilah khalifah-khalifah buta itu
Yang siangnya selalu menangis,
Malamnya menjambak,
Dan akhir hayatnya meratap-ratap atas serapah ruah

Pekanbaru, (00.31 WIB) 25 Desember 2006


Menemukan Perempuan dalam Dada

Duduk bersimpuh, tatkala mengeluh
Menjerat kaki tangan di perhujung poros
Bak menyesal karena bisa tahu hatinyalah yang berkata
Bukan mata dan bukan lidah, dia tahu…

Rambutnya yang terkadang tak menentu
Umpama menunjuk dua Tuhan
Satu Tuhan yang akan hidup
Dan dua Tuhan yang akan menghidup

Satu persatu air mata dan jarinya
Mulai menjamah bumi dan kening
Sebagai tanda ada murka menimpanya
Dan menunggu bandang-bandang hanyut
Ke dadanya yang sudah membeku

Aku tiap tahun menatap rambut, kening, air mata, dan jarinya
Dialah Mak Esah
Yang selalu menyembunyikan tubuhnya ke dalam dada

Pekanbaru, (16:15 WIB) 30 Desember 2006


PUISI 2007

Air Mata Dasri
(dibaca pada saat mengenang satu tahun wafatnya Dasri Al Mubary, Rabu malam, 30 Mei 2007 yang diselenggarakan UKM Batra Unri)

+ Assalamu’alaikum, Dasri…
Tampaknya kau baru saja selesai shalat Magrib

- Kenapa kau datang pada Magrib ini?

+ Aku hanya ini menagih janjimu kepadaku

- Aku tidak pernah membuat janji fana bersama mu

+ Kau pasti lupa, Dasri...

- Tidak!

+ Kau lupa atas janjimu

- Apa?

+ Aku hanya ingin menanyakan apa kabar puisimu?

Dasri menangis bagaikan embun yang jatuh di siang bolong

+ Kenapa kau menangis, Dasri?

- Aku sedih.., kalau puisiku di tinggal orang

+ Dasri...! Orang-orang baru saja membaca puisimu dengan baik..

- Tapi..., aku mau kalau aku hadir bersama mereka!

+ Tidak mungkin, Dasri!

- Mungkin!

+ Tidak mungkin..!!

- Mungkin..!!

+ Tidak mungkin..!!!

- Mungki...nn!!!

+ Tidak mungki...nn!!

- Mungkinn..

+ Tidak mungkinn..

- Kenapa tidak mungkin...

+ Karena...!

- Karena apa?

+ Karena kau sudah mati bodoh!! Biarkan saja mereka yang mengenang

- Ha..!! Aku sudah mati..? Aku belum mati! Aku masih punya ”Tamu”, ”Dengarkah”, ”Seru”, ”Burung Hari”, ”Dakki”, ”Dzikir Hari..”

+ Alah..! Itukan dulu, Dasri!

- Malangnya nasibku...! Aku menyesal mati....!!

+ Dasri.., jangan pernah kau sesali kehendak Tuhan!

- Aku terlambat! Aku terlambat memberikan buku puisi terakhirku kepada mereka..

+ Aku bisa mengantarnya, Dasri..

- Ia..! Tolong berikan kepada mereka yang masih hidup tentang buku terakhirku... yang berjudul ” Kematian Cinta”

Pekanbaru, (21.20 WIB) 30 Mei 2007


Kemudi yang Patah

Sanggupkah lagu-lagu yang aku dengar silam
Bisa menyejukkan mata hatinya bintang?
Biarkan saja dahan itu menyejukkanya
Karena bintang sudah penat untuk menggantungkan nyawa
Dirinya bukan lagi berada di tengah langit
Melainkan di rongga purnama
Yang menyala di setiap beberapa bulan perempatan akhir tahun

Malu aku menjenguknya..
Karena setiap kedipan mataku
Akhir dari perhitungan nyawaku
Patah hatiku
Merajuk nasibku
Punah harapanku
Diakhir do’a...

Pekanbaru, (01.56 WIB) 2 Juni 2009


Merah Merona

2004 banyak warna di bilik
Satupun tidak aku suka
Merah, putih, biru, kuning, hitam, abu-abu, hijau...
Semuanya aku temukan di lubang kakus

“Aku harus memilih warna!”

Oh! Mana dia!
Di mana kau warna merona!
Tidak di kakus, di parit, di lubang busuk, di gigi berlubang
Ah! Semua pembengak...!

Aku tertipu oleh warna semua yang merona
Tidak ada satupun yang aku jumpai warna Tuhan dan Nabi

Ada...
Dia ada di hati siapa saja yang masih mengingat-Nya

Sampai jumpai di bilik warna 2008

Wassalam!

Pekanbaru, (02.09 WIB) 2 Juni 2009


PUISI 2008


Sajak Anak Talang Mamak, Yang Tak Tahu Tanda Baca

: “Tiar!
Apakah Kau pernah mencium wanginya ulayatmu?”

Tiar menangis, dan Tumpu, adiknya,
Tetap saja mengoleskan telapak tangannya
Ke arah hidungnya yang setiap hari terleleh ingus.

Bias polos pada suku yang hidup selalu bersama pohon dan rating itu,
Mengajak untuk menangis berjema’ah.
Meratap!

Kembalilah, Kau, Anak-anak Talang Mamak..
Sedih, sambil mengutil kelaminya dengan jari-jarinya yang kumuh
Karena tak mengenakan sutra selembut kekayaan suku itu.

: “Tiar!
Apakah Kau ingin mengenyam?
Sama dengan cita-cita anak-anak yang bertahta?”

Tiar, anak kandung suku marginal di tanah gambut nan gersang itu,
Masih saja membisu sambil meneteskan mata air tak bermata air.
Makanya Ia acuh.

Tiar, Anak Talang Mamak yang pernah hidup 27 tahun,
Masih saja bodoh dengan tanda baca dan huruf-huruf kapital.
Dia buta dengan tanda baca, apalagi membaca-baca.
Matanya berkaca-kaca, apatah lagi menerka-nerka,
Makanya Ia acuh.

Tiar, Anak Talang Mamak yang hanya pintar menulis sajak marginal
Bercarut atas nasib suku peninggalan moyangnya.
Menetek saja yang tidak pernah mereka pelajari,
Selebihnya hutan-hutan dan ranting yang ada di bangsanya
Perlahan-lahan mati bersama memuainya setiap hari air Indragiri.

Tumpu, adiknya yang ingusan itu, hanya bisa menjeling,
Menatap ke arah tangisan Tiar, yang hangus legam oleh waktu.

: “Kakak! Sudahkah kau menulis sajak?
Biasanya pada petang ini,
Kau menulis sajak buat Gagak-gagak
Yang setiap fajar hadir tepat waktunya?!”

: “Sudah! Sajak itu sudah aku buat,
Yang sebentar lagi akan aku antar bersama merpati putih buat Si Gagak.”

: “Untuk apalagi Kau terus menangis, Kakak?”
: “Untuk ulayatku yang susah mengajariku membuat sajak indah.”
: “Kalau begitu, teruslah menangis, Kak!
Sampai Gagak-gagak itu memberikanmu dawat dan kertas.
Agar Kita si Talang Mamak bisa tahu tanda baca!”

Tiar dan Tumpu saling berpelukan ketakutan di tengah hutan yang baru saja ditebang dan terbakar.

Pekanbaru, (02.17 WIB) 29 Maret, 18 Juni 2008


Dari Sebuah Perjalanan

Dari perjalanan yang ada
Hanya waktu yang kuanggap tidak pernah seiring denganku
Padahal kata-kata kesetiaan pernah aku jalin bersamanya
Namun keberadaan itu yang masih bertentangan denganku
Sampai hinggap di persinggahan pun
Aku masih saja menjadi lorong kelam bangsat
Dan si waktu tetap saja mengiringiku
Mencercaku
Mengelabui pandanganku

“Kau Durjana. Waktu yang setiap saat kau hitung
Adalah kebutaanmu untuk kami menjadi kalah
Pada setiap pertanggungan”

Karena tetap saja waktu itu mengiringiku
Aku mengalah dengan menutup usiaku
Di tengah gurun tak berpohon nan gersang
Anehnya, waktu itupun ikut menutup detaknya

“Berarti.., si waktu itu adalah nyawa kesetiaanku
Menyesal aku jadinya!”

Pekanbaru, (18.30 WIB) 23 Mei 2008


Kata Hati Seorang Perempuan Jompo

Dia riang..
Namun tetap saja menyimpan kata tak pasti
Di dalam hati beserta matanya
Dia tersenyum bersama sejawatnya
Pasti saja sesudahnya dia menangis

Pantas saja dia bagai gelombang
Karena kegembiraan hari senjanya
Direnggut oleh masa renta yang menitipnya
Aku menangis saat dirinya harus memakan nasi
Yang sudah terlebihdahulu dikerumuni lalat dan semut merah
Dan bahkan aku terus tersedu
Ketika jompo itu mati tak terkubur dan tidak disapa anaknya

Banyak kisah memilukan di hari-hari senja
Yang tak pernah penuh dengan makna itu

“Sayangi yang masih hidup wahai malaikat tak sempurna”

Pekanbaru, (18.55 WIB) 23 Mei 2008


Tangisan Mey di Bulan Mei

Di tengan gerumunan orang-orang
Mey mencoba mengira
Kalau dirinya pasti bisa nak memperoleh sepenggal kata
Kata itu yang diperebutkan gerumunan
Tak mahal harganya
Namun bermodal untuk dapat hidup satu hari
Mey menerobos pagar betis yang sudah tersusun rapi
Dan pada endingnya, Mey harus menggigit jarinya, mengeluh
Mey di Mei adalah masa kepiluannya untuk berjanji
Tidak akan hidup bertemu si Mei
Karena Mey takut dengan Sang
Yang duduk di singgasana pemberian gerumunan
Yang saat ini tengah menanti..,
Dan bisa mematikan Mey..

Nasib Mey ada di bulan Mei pilu

Urungkan saja niatmu wahai Sang Penentu!

Pekanbaru, (19.20 WIB) 23 Mei 2008


Catatan Kalau Aku Mati Kelak

Kelima jari tangan kanan dan kiriku
Adalah saksi kepedulianku selama puluhan tahun ini
Karena jari-jari itu selalu adil di setiap kesedihanku
Untuk mengusap dadaku yang sedang sedih
Dan yang paling aku sayangi adalah air mata
Dan kesunyian yang tidak pernah luput menenangikui
Agar aku, “Jangan menangis, Parlin”
Dan salah pasrahku kepada penaku
Yang selalu mengakhiri kesedihanku
Untuk dituangkan dalam kalimat-kalimat
Yang akhirnya aku harus menangis kembali
Lalu dituangkan kembali ke susunan kata-kata
Namun, hingga saat ini aku tetap mencari kegembiraanku
“Agar aku tidak sedih terus menerus
Dia adalah cinta kesetiaanku
Yang dapat memahami setiap kegelisahanku selama ini
Tetapi dia belum ada

“Apakah akan ada di akhir nyawaku?
Atau dia memang tidk pernah akan ada?
Matikan saja aku kalau begitu!
Dan biarkan penaku tetap hidup
Untuk dapat memuat setiap kalimat akhir hidupku
Yang terus mencari dia sesungguhnya”

Pekanbaru, (19.45 WIB) 23 Mei 2008


Syair yang Berlayar di Laut Jingga

Syairlah yang dapat menenangkan gejolak di Laut Jingga
Tempat dimana Hangtuah selalu berlayar bersama penggawanya
Untuk mempertahankan kejayaan Melayu
Syair terus bernyanyi bersama bisik-bisik ombak
Sampai terdengar hingga di peraduan seberang Tanah Melayu
Sempat aku ikut mengalunkan syair yang pernah aku hapal
Pada saat syair itu mulai tenggelam secara perlahan-lahan
Di Laut Jingga yang enggan berbalas syairnya
Syair pun perlahan-lahan luluh
Sehingga hilanglah kata demi kata
Lalu Laut Jingga marah dengan menaikkan ombaknya
Pada akhirnya syair enggan berlayar ke tepian

Malang betul nasib syair yang telah mengklasik
Dia hilang begitu saja ketika sudah penat mencarinya
Dan hingga akhir ini
Syair itu tetap terus dicari
Dan pasti dia akan ketemu jua pada akhirnya
Ya.., di buku-buku usang yang tersusun rapi bersama gurindam,
Hikayat-hikayat,
Pantun,
Tuhfat al-Nafis,
Dan cerita tentang Hangtuah.

Pekanbaru, (20.36 WIB) 25 Mei 2008


Sedu Bahasa Akhir Kata Melayu

Setiap ada gundukan kata syahdu, bunga kamboja selalu dibingkai menjadi sebuah karangan. Tidak saja karangan syahadat yang tabah, seraya juga kalimat yang dapat membawa peradaban ke laman yang bertamadun.

Langkah perlangkahnya, seperti jejak rasul yang tetap dikenang oleh penyair bahasa. Menawanlah bahasa itu, menambah kisah kata berpepatah pitih, setelahnya lahirlah ibu kasih yang berkisah Melayu.

Sedu seda ajang bersua antara bahasa dan penyair Melayu hingga menambah kasih dari kisah Melayu.

Pekanbaru, (21.06 WIB) 30 Mei 2008


Sebuah Tangis Apung

Air matamu itu sudah lama aku rasakan
Saat tengah malam nan lalu, "persisnya hari itu, Mata!"
Sudahlah...
Hinggapkan air matamu pada ranting
Dan dihiasi oleh embun apung
Ikut pulalah air matamu bersetara apung

Pekanbaru, (15.46 WIB) 07 Juni 2008


PUISI 2010


Sunyi Adalah Kita

Waktu yang selalu bersamaku setiap harinya adalah sunyi
Sementara, hariku yang lain adalah pedih
Sementara kalian yang menangis adalah perjalanan
Tanah Melayu yang kutinggalkan dua hari lalu tak bersedia menemaniku
Untuk menutupi kegundahanku yang bertahun tahun melukai setiap degub jantungku

Adakah waktu yang selama ini aku cari ada di tengah kalimat syahdu?
Apakah benar, kalau semuanya hanya sekadar kebohongan seiring dengan gejolak yang menimpa anak cucu Adam?

Dia tetap saja sunyi tak mau berkicau
Dengan deraknya arus sungai yang aku simak tadi sore
Aku sadar, kalau hari ini dan semalam adalah riang yang tak terbayarkan
Lagi-lagi harus sunyi dengan kata
Karena sunyik itu adalah aku pilubang.

Payakumbuh, (20.25 WIB) 10 April 2009


Bagai Bunga Bersama Batang

Berawal dari sebuah pertemuan. Kemudian dari pertemuan itu ada mata dan hati yang saling menatap tajam. Berharap bunga impian nan datang, akhirnya tangkai pun siap menahan dahan dari derunya angin. Ranting-ranting hanyalah hiasan belaka dan mekarnya memperindah mata Dia. Alna…

Akar pun siap mengangkat batang tubuh yang telah lama dipancangkan dari hati yang paling curam. Bersama air yang siap menyirami setiap pagi dan sore agar Dia tumbuh bak bunga mawar di tengah padang yang sunyi. Dia kami sebut Alna Berbunga…

Alna…
Kini Dia bersama duri yang siap melukakan siapa saja yang hendak mematahkan bunga itu. Kemudian, kini Dia bersama lebah yang selalu mengawal, bersama akar yang kokoh, bersama batang yang subur, dan bersama cinta yang tetap tertanamkan sampai langit tak bisa lagi ditumbuhi bunga macam Engkau Alna…

Pekanbaru, (14.01 WIB) 20 April 2009


Anak Kini Terbuang

Anak bukan titipan. Anak bukan rezeki. Anak tidak anugerah. Anak bukan berkah. Anak bukan harapan.

Anak adalah tangis. Anak adalah buang. Anak adalah kacau. Anak adalah pilu. Dan anak adalah karam padam.

Kini ia terbuang, tak siang dan tak malam. Hanya terbuang oleh harapan.

Pekanbaru, (12.06 WIB) 27 April 2009


Mencari Kata-kata

Aku lihat hanya ada kata-kata di mana-mana. Tak pernah aku menatap muka yang tersanjung dengan kata – karena kata selalu menjadi masalah panjang yang tak berujung.

Pekanbaru, (16.30 WIB) 4 Juni 2009


Ku Tatap Mataku

Kutatap mata dalam mataku, ada butiran hitam, namun ia tajam. Berkedip pintanya, takjub akhirnya. Kupandang mataku, ada cahaya syahdu nan menawan. Dalam sekejap aku terdiam, ada hatiku pada jiwanya. Lahirlah mata baru, yang akhirnya kututup mataku. Dan membuka kembali mataku hingga tak mampu hendak menatap butiran hitam nan tajam.

Pekanbaru, (09.46 WIB) 01 Desember 2009


Sepatah Asa

Sepatah asa tak selalu di akhir cerita, takdir menerpa membawa luka. Mulanya biar tahu rasa, menjadi dosa tak berpalang. Ketika nama menjadi lambang, bendera pun menjadi simbol, kemerdekaan jiwa pun belum tentu ada dalam jantung yang goyah. Katakanlah hai manusia, “Aku adalah lakon kebejatan itu” yang siap menjadi luka paling dalam. Katakanlah hai kebejatan, “Kalau manusia adalah luka teramat dalam”. Katakanlah hai ilalang, kalau kau tumbuhan yang mulia.

Pekanbaru, 02 Desember 2009, 10.30 WIB


Kata adalah Waktu

Tak usah kau membanggakan dirimu kaya dengan kata-kata tu. Karena dengan kata-katamu, puisi takkan menjadi kata. Karena setiap apa yang kau sandarkan adalah jiwa yang menetap oleh waktu. Kata tak dapat disangkutkan dengan puisi, melainkan dengan gaya dan waktu.

Pekanbaru, (15.10 WIB) 03 Desember 2009


Duli Tuanku, Lukaku dan Lukamu adalah Cawang yang Rekah

Tuan,
Cawang yang di cegak itu telah merekah batangnya
Makanya, senjakala tak lapuk dalam pelukan dada dan punggungmu
Mengigau dan racau hingga tubuhnya menggigil
Ia berharap, Tuan memeluk senjakala itu

Tuan,
Lukaku dan lukamu adalah cawang yang rekah
Tatkala lubukmu menjadi tangisan kami yang senantiasa bersenda gurau bersama syair
Senarai pantun sudah digenggam olehmu, Tuan
Makanya hendak pergi melalang buana sudah lagi menjadi nestapa
Akhirnya, kami pulang membawa luka yang engkau suguhkan, Tuan

Tuan,
Manakala aku menjadi Tuan
Akan aku terbitkan gurindam nan menggoyahkan tegap gempitamu
Karena aku tahu, kalau petuah yang menjolak dapat membakar nafasmu
Hingga Tuan tak menoleh lagi ke rupa ku dan mu yang runyam bersama dongeng

Tuan,
Kalaulah Tuan mafhum, kutawari dosa yang melekat dalam tubuhmu
Untuk aku ubah dengan kata maaf dari majelis kami yang pucat pasih ini
Dari rapai tak kunjung usai
Kami titip salam atas sikap Tuan yang jamak tak bermarwah

Duli Tuanku,
Atas nama cawang yang rekah
Segerombol pantun dan gurindam kami bingkiskan buat Tuan
Karena kami telah senggugu kaku nan tak berdaya
Maafkan paduka, Tuanku
Hamba tengah berdongeng buat anakku yang cengeng
Jangan belenggu aku, Tuanku
Karena aku adalah hambamu yang sekali saja bersajak keras


Tahniah : selamat
Cawang : cabang, bidang
Cegak : tubuh kuat, tangkas, sibak, terbuka
Senjang : antara, menjelang
Senarai : jadwal, daftar
Bestap : duka cita
Menjolak : api yang meninggi
Rupa : wajah
Runyam : kacau
Mafhum : paham, mengerti
Majelis : perkumpulan,
Rapai : menggapai
Duli : panggilan kepada raja
Senggugu : nangis tersedu-sedu

Pekanbaru, (17.41 WIB) 04 Desember 2009


Biarkan Lukaku

Biarkan lukaku dulu menetap di peraduan lubukmu yang sedah-sedu, agar dirimu ingat namaku yang syahdu. Jangan kau campakkan girang kita yang dulu, karena tawamu tetap kusimpan dalam ingatanku. Alna adalah sedih tawaku yang hampir saja kami lupakan. Tapi, aku dan dia takkan mati lupakan namaku dan namamu yang sembunyi di langit ke tujuh.

Pekanbaru, (16.27 WIB) 04 Desember 2009


Pulanglah, Mak
(Buat Minah sang pencuri 3 buah kakao di sebuah perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA), yang berada tidak jauh dari rumahnya. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto (Jateng) membacakan vonis hukuman tiga bulan percobaan terhadap Minah (55), seorang nenek warga Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Kamis (19/11/2009))

Pulanglah, Mak. Tak usah harap kata-katanya itu. Emak tertipu besar olehnya. Lakukan saja apa yang Emak anggap baik, walaupun mencuri itu dosa tempatnya, kalaulah itu baik, lakukan dengan tulus, Mak. Jadi dirimu sendiri, Mak. Tak usah kau dengarkan lagi katanya itu. Karena kau bakal jadi pencuri ulung. Sudah pulang, Mak! Pulanglah!

Mak,
Jangan sedih
Ada kebun kakao indah buatmu
Akan ada batang kakao baru buatmu
Beri mereka kakaomu
Agar lainnya tak mencuri kakaomu

Pekanbaru, (09.57 WIB) 07 Desember 2009


Ups! Matilah Aku

Setiap helai rambutku adalah tasbih. Lalu, setiap tasbihku adalah ingatanku atas dosa. Dan jutaan dosaku adalah kerikil kecil tajam yang menancap di telapak kakiku nan gemetar. Mengintip waktuku itulah yang membuat aku terperangah. Tak kusangka, kalau bayangku adalah rambut yang bertasbih atas dosa. Banyak. Dan tak dapat dihitung jari tangan dan kaki.

Kulontarkan dalam keheningan syahduku, aku tak tertoleh, karena aku menggulung badanku kedinginan. Menggigil, menggerutu, dan mendengkur. Ups! Patah sudah. "Matilah aku".

Pekanbaru, (14.51 WIB) 09 Desember 2009


Kisah Kejujuran Pohon dan Waktu

Bila hendak menerka waktu, biarkan angin lalu lalang menghembuskan dahan. Mati dan hidup adalah waktu, makanya angin biarkan menghembus. Ranting dan daun takkan goyah, bila niat tak melangkah. Pohon menjadi kokoh, saat akar bersetubuh dengan tanah. Makanya, pohon dan waktulah yang jujur.

Pekanbaru, (10.13 WIB) 10 Desember 2009


Tiada

Awal kisah legenda bapak ibu menjadi pengemis. Sahabat karibnya adalah debu. Ladang tawanya adalah caci. Setiap langkahnya adalah ada dan tiada. Satu hari ada kisah, dua hari ada tangis, tiga hari ada-ada saja yang tiada. Ketiadaan adalah kebutuhannya untuk berpikir di mana dirinya harus mencari ada dan tiada itu lagi. Ini kisah sebahagian bapak dan ibu malang yang ada dan tiada harapan masa yang tiada.

Pekanbaru, (14.14 WIB) 14 Desember 2009


Tanda

Malam sebagai tanda. Pagi sebagai awal. Siang sebagai siaga. Dan petang sebagai peringatan. Awan sebagai siang. Senja sebagai petang. Bintang sebagai malam. Dan embun sebagai pagi. Awan, senja, bintang, dan embun adalah kita. Dan kita adalah tanda. Tanda sebagai penentu, penentu apa dan siapa kita dan Tuhan kita.

Pekanbaru, (15.48 WIB) 17 Desember 2009


PUISI 2011


Bagai Bunga Bersama Batang

Berawal dari sebuah pertemuan. Kemudian dari pertemuan itu ada mata dan hati yang saling menatap tajam. Berharap bunga impian nan datang, akhirnya tangkai pun siap menahan dahan dari derunya angin. Ranting-ranting hanyalah hiasan belaka dan mekarnya memperindah mata Dia. Alna…

Akar pun siap mengangkat batang tubuh yang telah lama dipancangkan dari hati yang paling curam. Bersama air yang siap menyirami setiap pagi dan sore agar Dia tumbuh bak bunga mawar di tengah padang yang sunyi. Dia kami sebut Alna Berbunga…

Alna…
Kini Dia bersama duri yang siap melukakan siapa saja yang hendak mematahkan bunga itu. Kemudian, kini Dia bersama lebah yang selalu mengawal, bersama akar yang kokoh, bersama batang yang subur, dan bersama cinta yang tetap tertanamkan sampai langit tak bisa lagi ditumbuhi bunga macam Engkau, Alna…

Pekanbaru, (14.01 WIB) 20 April 2009


Waktu

Detik adalah waktu yang selalu terlewatkan, menit juga demikian
Jam terkadang menjadi ingatan yang terlupakan
Cuma hari tanpa terasa itulah yang selalu membuat aku lupa
Kalau aku mendekati mati

Pekanbaru, (15.26 WIB) 28 Januari 2010


Buta Rembulan

Malam boleh saja kalah terangnya oleh matahari
Tapi malam dapat menerangkan hati
Di kala kita tahu kalau gelap itu adalah penting untuk sebuah renungan

Tertutup bagiku, kalau matahari dan bulan adalah sahabat
Karena aku buta bila diterangi cahayanya mentari dan rembulan
Apalagi bintang, berderangnya hanya hiasan belaka

Dia hanya ada dalam hati..

Pekanbaru, (10.25 WIB & 11.11 WIB) 08 & 09 Februari 2010
Selengkapnya...